My Weird Neighbor

andra fedya
Chapter #23

23. Hati Yang Menggelombang

Perasaan Adit mendadak terasa tidak enak. Meskipun ia kini berada di tengah keramaian. Nightclub itu lebih meriah karena sedang mengadakan acara yang disponsori perusahaan rokok ternama. Adit tampak duduk di meja bar, berpikir, sementara musik EDM diputar keras-keras mengikuti permainan DJ. Di hadapannya tersaji minuman berwarna keemasan, pahit dan pahang, yang segera mengantarkan penikmatnya pengar. Ia tidak menyentuh minuman itu, ia masih membutuhkan fokus dirinya. Jay yang memesankan minuman itu untuknya, karena menurutnya Adit yang tampak galau dan resah itu sedang membutuhkan sedikit sentuhan sukacita. Jay jelas salah besar, pikir Adit, yang ia butuhkan saat ini hanyalah kepastian dari gadis itu. Bukan alkohol.

 Sambil mengepulkan asap rokok, Adit memutar duduknya agar menghadap ke arah panggung, tempat tujuh orang penari terbalut pakaian kulit ketat sedang bergoyang luwes dan enerjik, meletupkan semangat para pengunjung di lantai dansa. Namun di tengah kemeriahan itu, ia tetap merasa kesepian dan sendirian.

 Adit menatap layar ponselnya, sudah enam kali ia mengirimkan gadis itu pesan di kolom chat-nya, tapi tidak juga gadis itu membalasnya. Tak ada kabar dari gadis itu sejak tadi.

 Dengan hati tak menentu, Adit kembali membuat sambungan telepon. Tapi sambungan itu kini dihubungkan ke voicemail. Ponsel itu mati. Adit tiba-tiba merasakan firasat tidak enak, perasaan tak menentu yang mendesak dan menggulungnya. Ia kembali teringat pesan gadis itu di gedung tadi, saat ia mengantarnya ke taksi: Baik-baik ya, kamu, Dit ...

 Harusnya ia mengikuti perasaannya. Itu adalah pesan perpisahan—betul, kan? Ia merasa harus menemui dan mencari gadis itu. Sekarang juga. Tapi ke mana? Di mana tempat tinggal gadis itu? Gadis itu tidak berkuliah atau bekerja. Ia baru berencana kuliah tahun depan. Temannya? Adit sama sekali tidak pernah ingat gadis itu pernah menyebut nama temannya. Kebanyakan mereka membicarakan diri mereka sendiri dan hal-hal spontan yang terlintas di pikiran mereka saat itu. Adit tiba-tiba sangsi benar-benar mengenal gadis itu ...

 Satu-satunya informasi yang ia ingat adalah Kompleks Bahagia Asri. Tapi perumahan itu cukup luas. Ia tidak mungkin mengetuk satu per satu rumah dan menandainya seperti yang dilakukan para penyamun dalam cerita Alibaba.

 Sesudah berpamitan kepada teman-temannya, ia pun segera meninggalkan gedung mewah tersebut. Mengebut dengan mobilnya, membelah malam yang larut dan sepi. Ia memelankan laju mobilnya ketika memasuki kawasan perumahan yang sudah amat sering ia kunjungi itu.

 Karena tidak punya tujuan, Adit memarkirkan mobilnya di depan trotoar rumah Abriel, berharap sahabatnya itu bisa menolongnya. Barangkali, jika Adit menjelaskan kepada Abriel ciri-ciri fisik gadis itu, Abriel bisa membantunya menemukan gadis itu—mungkin Abriel pernah mendengar namanya, atau lebih baik malah mengenalnya jika mereka memang tinggal satu kompleks, pikirnya.

 Namun, Adit segera termenung begitu menyadari kalau di sana ia tidak melihat penampakan Vios perak yang dikenalnya. Adit hafal betul, karena garasi dalam rumah Abriel hanya bisa menampung dua mobil orangtuanya: sebuah van besar papanya dan sedan kecil baru ibunya—plus motor Abriel disudut, yang amat jarang digunakan kecuali jika papanya mendadak ingin naik motor. Maka dari itu jika mobil Abriel tidak di tempatnya, itu artinya kemungkinan besar Abriel sedang tidak ada di rumah. Adit pun segera menelepon ponsel Abriel. Hanya dengungan nada sambung yang ia dengar setelahnya.

 Telinga Adit mulai berdenging. Jengah dan frustasi. Diteleponnya lagi nomor itu. Tak ada yang menjawab. Ia mengecek jam tangannya, pukul dua belas malam lewat beberapa angka panjang. Apa mungkin Abriel sudah tidur? Jangan-jangan sahabatnya itu menginap di rumah temannya—tapi, siapa? Ataukah Abriel memang sedang bersama Irena? Tapi ... hingga selarut ini? Dan pada malam sekolah? Adit memutar pertanyaan-pertanyaan itu di kepalanya dengan cepat.

 Percobaan terakhirnya. Ia kembali menelepon Abriel. Jika Abriel tidak mengangkatnya, ia akan berkeliling kompleks ini satu kal kemudian pulang. Barangkali, besok di sekolah ia bisa menceritakan masalahnya pada Abriel. Abriel pasti mau membantunya, mencarikan jalan keluar untuknya. Anak itu selalu bisa diandalkan.

 Nada sambung akhirnya berhenti. Adit mendengar suara gemerisik.

 “Apaan, Dit?” jawab Abriel dengan suara setengah hati. Adit menebak mood Abriel sedang tidak begitu baik. Atau Abriel sudah tidur dan ia mungkin barusan membangunkannya.

 “Eh, sori gue nelepon malam-malam gini. Lo lagi di mana?”

 Jeda beberapa detik. “Di rumah. Emang kenapa?”

 Adit sedikit bernapas lega. “Keluar dong, bentaran aja. Gue di depan rumah lo. Gue stres banget. Perlu bantuan lo.”

 Jeda lama. “Gue lagi nggak bisa keluar ....”

 Adit mulai curiga. “El, lo nggak di rumah, ya? Mobil lo juga nggak ada. Serius, gue di depan rumah lo.”

 Hening lagi. “Sori gue bohong, Dit. Gue nggak lagi di rumah.”

 “Ah, gue tahu! Lo lagi sama si Idung, ya? Kalian ngapain hayooo malam-malam gini? Di mana lo, Njiiiis?”

 “Gue di Lembang.”

 “Lembang?” decak Adit, terperangah. “Sama Irena, beneran?”

 “Mmh ... iya.”

 Adit bersorak. “Kalian ngapain malam-malam gini hayooo, di Lembang pula!”

 “Ngadem aja.”

Lihat selengkapnya