Sepeda motor itu melaju membelah jalan dengan mantap. Menyusuri aspal rata, perumahan, yang serta-merta berubah menjadi jalanan berbatu yang rusak ketika mereka mengambil jalan ke kanan melewati lahan proyek dan hutan. Beberapa kali Abriel mengentikan motornya dan bertanya arah kepada pengemudi lain yang melintas. Karena, baik ponselnya dan ponsel Isabel sudah resmi kehilangan signal, sehingga mereka tidak dapat mengecek aplikasi map, sedangkan begitu banyak cabang jalan yang mirip dan tidak terdapat papan penunjuk arah.
Setelah melewati turunan curam, warung yang jadi penanda akhirnya muncul setelah Abriel mengikuti instruksi orang terakhir yang berpapasan dengan mereka di jalan.
Dengan serius, teliti dan jantung berdegup cepat, Isabel berusaha menemukan rumah yang ia tuju. Petunjuknya adalah rumah tersebut berlokasi di sebelah kanan saung bersama milik warga Dusun Ciawi. Sementara itu Abriel melajukan motornya lambat-lambat, mengangkat kaca helmnya, mengangguk ketika ada penduduk yang bersibobrok pandangan dengannya.
Isabel-lah yang akhirnya menemukan rumah yang dimaksud. Setelah turun, ia kemudian melepaskan helmnya dan memberikannya pada Abriel. “Kasih saya waktu satu jam gimana?”
Tanpa keberatan sama sekali, Abriel kembali mengangguk setuju. “Selama kamu butuh aja, aku tungguin di warung yang tadi kita lewatin. Mudah-mudahan puncak acara hari ini lancar jaya ya, Angsa.” Ia kemudian menepuk lengan atas Isabel dengan lembut, memberinya semangat.
Mereka pun berpisah di sana. Abriel memutar kembali motor itu dan mengikuti jalan yang tadi mereka lalui. Isabel mendesah panjang sebelum memantapkan diri menghampiri rumah itu. Induk ayam dan anak-anaknya mendadak mengerubungi kaki Isabel di depan pagar rumah itu, Isabel mengusir mereka dengan desisan lemah yang ia keluarkan dari sela-sela giginya.
Dengan napas tertahan, ia menggeser pagar kayu itu. Ironisnya, ia tidak tahu fungsi pagar itu untuk apa karena dengan satu tangan pun rasanya Isabel mampu merobohkannya.
Isabel sudah sampai di depan pintu. Ia menarik napas lagi. Dan saat itulah ia mendengar suara tawa renyah yang dikenalnya dari arah taman belakang rumah itu, yang rupanya masih terhubung dengan pekarangan depan. Isabel memutuskan mengikuti arah suara itu.
Isabel menemukan para penghuni rumah di sana. Termasuk ayah dan istrinya yang baru. Wanita itu tampak rapuh, kaki-kakinya dirapatkan ketika suaminya mengangkat tubuhnya dan meletakannya di saung kecil di belakang rumah mereka itu. Lelaki yang tampak lebih tua dari ayah Isabel tampak menyusul mereka ke saung tak lama kemudian. Juga dua orang anak perempuan yang masih kecil mengekor di belakang lelaki itu.
Isabel tak tahu apa yang harus dilakukannya sekarang. Ia tahu ia sudah pergi dan menempuh perjalanan sejauh ini untuk bertemu dengan ayahnya, ia tak mungkin pulang dengan tangan kosong, setidaknya ia harus mengatakan apa yang ingin dikatakannya, sekali saja. Tapi di sisi lain, ia merasa mengusik kehidupan ayahnya sekarang bukanlah waktu yang tepat.
Namun, baru saja ia akan meninggalkan tempat itu, ada suara yang memanggilnya dari dekat. Ia menoleh. Ayahnya sudah berdiri di sana, memandanginya.
“Kamu ... Abel, apa betul?” ujarnya, pelan dan hati-hati.
Isabel menekan gerahamnya kuat-kuat sembari mengangguk, kantong kertas dalam genggamanya terasa mencair. “Ternyata butuh waktu lama ya buat Papap menyadari Abel. Pantas Mama bilang kalau Papap itu orangnya nggak peka.”
Mama. Sudah lama bibir Isabel tidak menyebut ibunya dengan panggilan Mama. Sejak orangtuanya bercerai, Isabel sengaja mengganti nama panggilan untuk mamanya tersebut menjadi “Mummy”. Bukan karena ia ingin sok kebarat-baratan. Tapi karena dulu, setelah bercerai dari ayahnya, ibunya tampak kehilangan jati dirinya, mengarungi hari dengan setengah hidup dan setengah mati. Seperti mumi—mummy—yang bangkit dari kematian setelah lama terbungkus kain linen dan natron.
Tentu saja, ibunya tidak pernah tahu tentang hal itu.
***
Ismail masih mematung di posisinya. Bibirnya terjahit kata-kata Isabel. Pikirannya mendadak mengarungi ruang dan waktu kembali ke lapangan futsal. Gadis itu sudah beberapa kali ada di sana. Mengapa ia bisa setolol itu? Lagi, ia pasti telah melukai hati Isabel. Entah seberapa besar luka yang Isabel rasakan selama bertahun-tahun ini, ia tak sanggup membayangkannya, dan masih sampai hati ia menambahnya?
Mata Ismail dan putrinya bertemu. Lekat dipandanginya gadis mungilnya yang telah menjelma menjadi gadis dewasa nan rupawan.
Ingin rasanya ia memeluk anak perempuannya itu, meredakan kerinduan yang selama ini membebat jiwanya. Tapi rasa bersalah membuatnya menarik keinginan itu, khawatir akan penolakan, ia mengepal kedua tangan kasarnya erat-erat.
“Maafin Papap yang nggak mengenali kamu lebih awal, Nak. Maafkan Papap.”
“Abel nggak datang ke sini untuk menghakimi Papap,” jawab gadis itu dengan tenang. Ketenangan yang semakin membuat hati Ismail menciut dan pedih. “Abel ngerti alasan Papap sama sekali nggak pernah ingin menemui Abel. Karena Papap belum bisa melupakan Mummy, atau dulu Abel panggil Mama. Karena kalau Papap ketemu Abel, Papap akan teringat Mama. Karena Papap selalu bilang mata Abel dan sorotan Abel seperti Mama.”
Ismail sama sekali tidak menampik hal itu. “Dosa Papap sama kamu besar sekali. Nggak akan sanggup ditebus. Papap malu sama kamu sekarang. Dapat maaf dari kamu mungkin adalah hal terakhir dan termewah yang mungkin bisa Papap dapat dari kamu.” Ia menghela napas, kemudian terdiam beberapa waktu. “Gimana kabar Jani sekarang?” ujarnya dengan susah payah.