Matahari Kota Bandung menyambut mereka dengan berkas-berkas menyilaukan, terbias lapisan kaca jendela mobil sehingga menimbulkan efek layaknya kepingan pelangi yang tercerai-berai. Dengan luwes, mobil perak Abriel melingkar mengikuti rute Jalan Setiabudi di depan halaman UPI yang megah serta luas. Perkiraan waktu tiba di sekolah Abriel adalan pukul setengah dua belas. Pengukuran waktu yang pas, mereka akan tiba saat murid-murid sudah bubaran karena hari ini adalah hari Jumat. Pelajaran tambahan ditiadakan, bel berdentang setengah jam sebelum azan nan syahdu dikumandangkan dari Masjid terdekat.
Dalam kepala Abriel, membentang berpuluh-puluh adegan bagaimana Adit dan Muamar terlibat pertikaian pagi tadi, bergelung, saling melayangkan serangankah? Ataukah salah satunya hanya menerima dengan pasrah? Separah apalah luka Adit? Atau barangkali Muamar mengalami nasib lebih tragis? Bagaimana reaksi semua orang? Apakah segalanya mengerucut padanya—tuduhan menjadi biang keladi? Apakah ia nantinya akan terlibat? Jika itu terjadi, bukanlah tidak mungkin orangtuanya juga akan dipanggil. Meskipun statusnya ia adalah korban—segala yang ia dan Isabel rencanakan akan jadi sia-sia. Ironisnya, ia bahkan belum tahu rencana Isabel.
“Saya turun di Pizza Kingdom Dago aja, ya,” cetus Isabel tiba-tiba, membuyarkan skenario keseratus yang diputar di kepala Abriel. “Saya nggak ikutan ke sekolah kamu.”
Itu bukan pernyataan yang membuat Abriel terkejut. Bukan saat ini waktu yang tepat untuk Adit mengetahui semuanya. Mereka berdua sama-sama tahu itu.
Abriel mengangguk. “Tapi kita pulangnya sama-sama, ya. Nanti aku jemput.”
“Kamu urusin dulu aja masalahnya Adit. Jam empat kita ketemu di Wendy's Braga, gimana? Nanti saya jelasin rencananya.”
“Aku nggak akan telat,” ujar Abriel sepakat. ”Hari ini Adit ngehubungin HP kamu?”
Isabel sudah menceritakan semuanya pada Abriel mengenai hubungannya dengan Adit. Semalam, saat mereka duduk bersama di depan perapian.
Malam tadi, saat Abriel merasa begitu dekat dengan Isabel, sekelebat ia merasakan tusukan perasaan bersalah pada Irena. Di dadanya, tepat di jantungnya. Namun, saat ia kembali menemukan sorot mata Isabel yang dikenalnya, pancaran kelembutan yang dipilin sedemikian rupa sehingga tampak kuat dan meyakinkan, pikirannya mengempaskan segala kekhawatiran dan melemahkan keraguan hatinya.
Isabel mengangkat bahu sedikit. “Bukan ngehubungin lagi. Kalau HP saya dibangun jadi orang, dia pasti udah lapor sama polisi karena diteror sama tuh anak.”
Sebuah ide mendadak muncul di kepala Abriel. “Eh, nanti juga aku bakal dapat nomor kamu.”
“Mmh ... dari daftar kontak HP-nya Adit?” Isabel mendelik. “Bakal kehilangan maknanya kalau kamu sampai ngelakuin kecurangan kayak gitu.”
“Nggak apa-apa,” Abriel tampak tidak begitu ambil pusing.
“Saya bakalan ganti nomor aja kalau gitu,” ancam Isabel tegas. Melihat keseriusannya, maka dari itu Abriel berhenti menggodanya.
Tak lama, Abriel sudah memasukkan mobilnya di halaman parkir Pizza Kingdom di Jalan Dago.
“Kamu bakal balik ke rumah kan, hari ini?” Abriel buru-buru memastikan. Khawatir Isabel menghilang lagi seperti terakhir kali gadis itu menumpangi mobilnya.
Isabel memberengut kembali, kali ini berpikir. Abriel mendadak resah karena Isabel tidak langsung menjawab iya.
“Iya, hari ini saya pulang ke rumah,” akhirnya gadis itu berkata. “Bareng kamu.”
“Janji?” Abriel buru-buru menarik jemari Isabel, mengajak bersalaman.
“Janji.”
Isabel kini sudah berdiri di luar mobil. Tas besarnya sudah dalam jinjingan. Isabel langsung menolak ketika Abriel menawarkan akan membawakan tas itu nanti, Isabel beralasan dalam tas itu ada hal-hal miliknya yang bersifat pribadi. Dan tidak etis rasanya jika benda-benda sepribadi itu ada di dalam mobil anak laki-laki. Sontak Abriel langsung memprotes ucapan Isabel itu, mengatakan bahwa ia cowok sejati yang tidak akan mengoprek barang yang bukan miliknya. Terutama milik perempuan. Isabel hanya menaikkan alisnya. Perdebatan pun berakhir di atas kemenangan alis itu.
***
Sebelum memasuki bangunan sekolahnya, Abriel lebih dulu menelepon ponsel Adit guna mengetahui keberadaannya. Masker kesehatan yang dibelinya di apotik tadi dipasangnya untuk berbaur.
Di sana, di sebelah ruang penyimpanan kursi-kursi, persis di belakang sekretariat OSIS, ia menemukan sahabatnya sendirian, sedang duduk di atas meja lembap yang sudah lapuk, tampak santai merokok.
Abriel menurunkan maskernya. Pada wajah Adit pun terdapat dua bagian yang lebam dan bengkak: bibir dan keningnya.
Tanpa berkata-kata, Adit langsung menyodorkan bungkus rokoknya pada Abriel begitu mendapatinya muncul.
Abriel ragu sejenak. Sudah enam bulan ia berhenti merokok. Meskipun dulu ia hanya merokok sehari satu hingga tiga batang saja. Tapi ia sudah bertekad untuk mulai berhenti.