My Weird Neighbor

andra fedya
Chapter #28

28. Pengakuan

Isabel masih memalingkan wajahnya ke luar jendela, sementara Adit sesekali melirik untuk mengecek keadaannya. Di luar, langit sudah menirukan tinta. Gelap, dingin, pekat. Isabel mulai bertanya-tanya dalam hatinya, apa jadinya jika langit runtuh sekarang juga? Apakah ia akan tenggelam di dalam cairan gelap itu? Karena rasanya itu yang paling masuk akal dan menenangkan. Tenggelam dalam kegelapan dan tidak muncul-muncul lagi.

 Dalam kondisi hatinya yang muram, Isabel dapat begitu saja mengingat kembali dengan jelas peristiwa itu. Peristiwa yang membawanya menemui para profesional yang konon dapat membantunya “sembuh”. Kejadian yang mengawalinya tidur sambil berteriak. Pengalaman traumatisnya yang memaksanya bersahabat dengan pil-pil penenang.

 “Dit, kalau bisa tempatnya yang agak jauhan. Jangan di sekitar sini. Saya masih pengin lihat lampu-lampu, jalan, langit, dan segalanya. Lebih enak buat berpikir.”

 “Oke.”

 Manut, Adit pun mengemudikan mobilnya ke arah yang berlawanan dari jalanan yang familier baginya. Melewati Laswi, Gatot Subroto, Bypass Soekarno Hatta, Bundaran Cibiru, hingga mereka sampai di pertigaan Cileunyi yang padat berkat antrean angkot yang mengetem sembarangan. Mobil hitam Adit masih terus melaju, memasuki wilayah Jatinangor, Sumedang, hingga akhirnya ia memarkirkan mobilnya di pinggir jalan, di depan kafe mungil yang pintunya terbuat dari kaca lebar dengan embos-embos vintage yang klasik.

 “Udah cukup jauh?” Adit bertanya pada Isabel sembari mematikan mesin mobilnya..

 Isabel mengangguk. Bibirnya tertarik sedikit mengupayakan senyuman. Ia gagal membentuk senyuman utuh

 “Kayaknya kalau sejauh ini bisa dikategorikan sebagai penculikan, deh,” gumam Isabel.

 Mereka pun memasuki kafe mungil itu. Memesan makanan dan minuman, kemudian menunggu dalam keheningan.

 “Udah siap cerita?” Adit membuyarkan lamunan Isabel.

 Isabel tersenyum muram. “Dit, apa yang ada di pikiran kamu sekarang?” Ia malah membalikkan pertanyaan Adit tadi.

 Adit mencebik sedikit. Gadis ini sama sekali tidak bertanya mengenai keadaannya. Padahal ia yakin, kafe nan terang benderang ini mengekspos lebam di wajahnya.

 “Aku lagi bertanya-tanya aja, kenapa kamu nggak penasaran sama bentukan wajah aku yang kayak gini.” Adit menunjuk lebam di wajahnya.

 Isabel mengangkat alisnya. “Emang aneh kalau anak bandel kayak kamu punya lebam di wajah?”

 “Hmm. Nggak, sih.” Ia tergelak, malu.

 Isabel mengangguk, tampak sedikit puas. “Kenapa kamu bawa saya ke Jatinangor?”

 “Kamu tahu tempat ini?”

 Isabel mengangguk. “Siapa yang nggak tahu Jatinangor? Ada lebih dari empat perguruan tinggi terkenal di kecamatan sekecil ini. Keren, ya?”

 Adit mengangguk setuju. “Penyebab yang bikin kamu tadi nangis ... apa kamu berrantem sama ... pacar kamu?”

 Saat itulah pramuniaganya mengantarkan pesanan mereka. Isabel langsung mencomot kentang gorengnya dan melahapnya.

 “Saya nggak punya pacar,” akhirnya Isabel menjawab. “Kamu dulu juga pernah nanya, kan.”

 “Kalau gitu, kamu kenapa?” tanya Adit lebih berani setelah hal yang paling ia takutkan nyatanya bukan penyebabnya.

 Isabel berhenti mengunyah. Gantinya ia menatap Adit lekat-lekat. “Kamu punya astma atau epilepsi, nggak?”

 Adit sontak menggeleng. “Mm ... enggak.”

 “Oke, good.” Isabel tampak berpikir sejenak. Matanya terlihat berkilauan. “Dit, pertama-tama, sebelum saya bohongin kamu terlalu jauh, saya mau ngasih tahu kamu satu hal penting. Nama saya sebenarnya bukan Audrey. Tapi, Isabel. Dan saya ini, cewek bayaran.”

 Untuk sesaat, Adit merasa ruhnya meninggalkan tubuhnya. “What?”

 Isabel mengetuk-ngetuk piringnya dengan kentang gorengnya. “Yap.”

Lihat selengkapnya