Untuk ketiga kalinya, pensil yang ditekan Abriel ke atas bukunya mendadak patah. Ia mendesah, kemudian membuka kotak pensilnya dan mengambil pensil cadangan lain di sana.
Sudah pukul tiga pagi. Menyeret tubuhnya dari kursi, ia merebahkan tubuhnya di atas tempat tidur. Rintik hujan di luar rumahnya terdengar seperti orkestra alam yang sedih, membantunya untuk terpejam. Saat itulah ponselnya tiba-tiba berbunyi, ia melirik layar yang menampilkan nama Adit di sana.
“Pa-an, Dit?” Abriel menyahuti ponselnya. Dalam hati Abriel bertanya-tanya, apa Adit lupa dengan pertengkaran mereka sebelumnya?
“El,” ujar suara bariton di ujung sambungan. “Lo lagi ngapain?”
“Mau tidur.”
Adit mendesah. “Gue lagi di depan rumah lo. Keluar, dong. Gue butuh teman cerita.”
Abriel sontak terlonjak. “Eh. Seriusan lo?”
Hening sejenak. “Gue nginap di rumah lo malam ini, ya,” ujar Adit sebelum memutus sambungan teleponnya.
Mau tak mau, Abriel pun segera turun untuk membukakan pintu. Di kamar Abriel, Adit segera memposisikan duduknya di atas karpet seraya memeluk bantal. Abriel baru menyadari ada sesuatu yang amat tidak beres begitu melihat tampang sahabatnya itu.
“Gue habis ketemu sama dia,” ujar Adit. Sementara Abriel memetik-metik pelan senar gitarnya dari atas kursi.
“Terus?” Abriel merespons pelan. Otaknya menghubungkan dengan cepat. Apakah orang yang ingin ditemui Isabel sebenarnya adalah Adit? Ataukah karena ia tidak datang, Isabel menghubungi Adit?
“El, lo nggak akan percaya sama yang dia omongin sama gue ... nyatanya, Audrey itu pembohong besar.”
Abriel otomatis terkesiap. “Maksudnya?”
“Pertama-tama, nama dia bukan Audrey. Tapi Isabel. Dan dia punya pekerjaan aneh yang nggak akan bisa lo bayangin. Selain itu, nyatanya dia mengidap depresi berat. Jadi ya, waktu dia sekolah di Jakarta dulu, dia sempat di-bully abis-abisan selama bertahun-tahun sama temen-temen sekolahnya. Sampai pada akhirnya dia dikerjain parah pas acara prom—dia cerita bagian itu singkat doang, sih. Intinya, itu bikin dia sangat depresi. Belum lagi masalah dia sama bokapnya yang rumit ....”
“Dia nyeritain itu semua sama lo? Kapan?”
Adit mengangguk, wajahnya masih suntuk. “Kemarin sore dia minta dijemput, gue jemput dialah. Singkatnya, dia cerita kalau dia ketemu salah satu yang bully dia dulu di jalan. Secara nggak langsung itu bikin dia ingat lagi semuanya. Padahal, selama ini dia udah banyak konseling sama psikiater dan terapis buat nyembuhin trauma berat dia.”
Abriel menahan napasnya mendengar semua informasi yang keluar dari mulut Adit. “Terus, baliknya lo antar dia? Lo pastiin dia nyampe ke tujuan dia?”
“Iya. Ke The Palm. Dia mau nginap di situ katanya. Sekarang gue nggak yakin—”
“Dan lo sama sekali nggak nguatirin dia?” potong Abriel langsung dan tajam. “Sekarang yang dia butuhin itu temen, Dit. Harusnya lo nggak biarin dia sendirian. Kalau emang dia pernah depresi, bisa aja kan depresi itu kambuh lagi setelah ada pemicunya. Isabel sendirian dalam kondisi nggak stabil dan lo malah ngerengek-rengek di rumag gue sekarang?”
Mata Adit membulat karena terkejut. “Gue sendiri juga butuh waktu buat jernihin pikiran gue. Semalaman gue mikirin semuanya. Gue yakin, perasaan gue ke dia nggak berubah, tapi ... ada bagian di dalam diri gue yang masih nggak terima.”
“Persetan sama diri lo yang nggak terima! Kalau lo emang cinta sama dia, di saat lo lihat dia lagi sangat membutuhkan lo, seharusnya lo bisa mengkesampingkan harga diri lo sendiri.” Abriel mendadak bangkit, memungut sweternya dan meraih kunci mobilnya. Semuanya dilakukan dengan tergesa-gesa.
“El, lo mau ke mana?” Adit yang tampak bingung, berdiri dan segera mengikuti Abriel turun ke bawah.
“Gue mau ke The Palm,” ujar Abriel seraya mengetuk pelan kamar orangtuanya.
“Hah? Ngapain?” bisik Adit karena takut membangunkan orang-orang di rumah itu.
“Dit, lo tunggu di luar bentaran, deh. Gue mau ngomong sama bokap dulu.”
Meskipun heran, dengan patuh Adit mengikuti kata-kata Abriel, menunggu di depan mobil Abriel yang diparkir di carport.
Mamanya yang membukakan pintu kamar. Masih dengan mata memicing sembap, mamanya bertanya, “El, ada apa subuh-subuh gini kamu—El, mau ke mana kamu?” Mamanya akhirnya menyadari kalau Abriel sudah memakai setelan yang pantas disebut setelan pergi.
“El mau jalan pagi dulu sama Adit, Ma. Adit udah nunggu di luar.”