Irena terkesiap ketika pada Minggu pagi ia mendapati motor yang amat dikenalnya itu berhenti di depan tukang bubur langganannya. Kalau saja ia tahu siapa yang akan muncul, setidaknya ia akan memakai pakaian yang lebih pantas, bukan T-Shirt kebesaran yang diwariskan papanya dan celana training dekil yang sering digunakannya dulu untuk latihan softbol. Ia bahkan tidak memakai pelembap wajah, sehingga bisa dipastikan wajahnya benar-benar polos dan barangkali sedikit bengkak.
“Ternyata feeling-ku benar, kamu masih jadi kuncennya gerobak Mang Ano,” ujar Abriel seraya mengamit helm hitamnya di siku kirinya, segera mengambil tempat di ujung bangku panjang di depan Irena yang masih menyisakan sedikit ruang.
Irena hanya nyengir, berusaha bersikap kasual. “Kamu mau pesan apa? Bubur spesial tanpa seledri?”
“Kalau tiba-tiba kamu lihat aku makan seledri, itu artinya alien lagi menginvasi tubuh aku. Pokoknya kamu harus cepat-cepat hubungi NASA.”
“Daya khayal tingkat tinggi,” komentar Irena sebelum memesankan semangkok bubur lagi untuk tamunya yang hari ini terlihat sangat ... berbeda. Betul, Abriel tampak berbeda, sedari tadi ia memikirkan apa yang salah.
“Kamu semringah banget hari ini. Terlalu semringah malah, buat ukuran orang yang habis digebukin,” cetus Irena seraya menyendok buburnya.
“Emang masih kelihatan jelas?” Abriel mengelus-elus pipinya. “Padahal udah pinjam krimnya Mama, nih.”
Irena menggeleng, tapi bibirnya tidak dapat menahan sekelumit senyum karena melihat reaksi kekanakan khas yang amat dikenalnya. Irena mendadak menyadari sebuah situasi. ”Kalau kamu datang ke sini cuma buat bujukin aku ngebatalin permintaan aku itu, sori, sori, kamu udah terlambat. Cuma tinggal sekitar ... mmm ....” Ia menggeser layar sentuh ponselnya untuk melihat jam, “dua puluh sembilan jaman lagi, kita bakal punya jawaban untuk semua ini.”
Abriel mengerucutkan mulutnya. “Kamu berisik banget. Laper, nih.”
Pesanan Abriel pun diantarkan lengkap bersama segunung kerupuk di dalam mangkok terpisah. Dengan lahap Abriel langsung menyantap buburnya, membuat Irena keheranan karena sikapnya yang tidak biasa. Terakhir kali Abriel bersikap luwes, memandangnya dan berkata selembut itu ketika mereka masih berpacaran dulu.
“Ngomong-ngomong, kamu kok tumben naik motor lagi?” tanya Irena heran. Ia tahu alasan di balik itu. Adit pernah memberitahunya dulu.
“Kangen aja naik motor. Eh, kamu nggak apa-apa kan kita jalan hari ini pakai motor?”
“Jalan? Emang kamu mau ngajak aku jalan hari ini?”
Abriel akhirnya mendongak. “Kamu nggak bisa? Udah ada acara, ya?”
“Eh, nggak gitu. Nggak punya acara, kok. Cuma kaget sama heran aja ....”
“Lebih heran lagi kalau kamu lihat temen lama kamu. Tuh.” Abriel mengedik ke arah motornya. “Punya kamu paling kinclong.”
“Waaah, itu kan si Idung Junior.” Irena baru menyadari helm putih berstiker huruf “I” meliuk yang terikat di jok belakang motor besar Abriel. Helm yang sering ia kenakan dulu.
“Aku baru ingat kalau helm itu punya nama,” ujar Abriel tampak geli sendiri.
“Duuuh, kalau gini sih, aku mana bisa nolak. Hari ini kita mau ke mana?”
Abriel menggeleng. “Mmm ... rahasia. Kamu ngikut aja, oke? Yang pasti bakalan seru.”
Tak sengaja Irena mendentingkan sendoknya, jemarinya mengkhianatinya dengan berkedut terlalu keras. Ia hanya melongo untuk sesaat, mendengar tawaran yang rasa-rasanya seperti hanya bisa muncul di dalam mimpinya yang paling indah.
“El, kamu sehat, kan?”
Abriel melebarkan senyumnya hingga gigi-giginya yang tersusun rapi itu tampak. Sebelum mengangguk dengan bersemangat. “Sehat sesehat-sehatnya,” katanya mantap, matanya berkilau-kilau seperti genangan air yang tertimpa cahaya matahari. Sungguh pemandangan yang amat menyilaukan bagi Irena.
Terlalu menyilaukan. Tak terasa seperti miliknya.
Meski ia tidak bisa memungkiri bahwa ajakan itu membuatnya bahagia, Irena bisa merasakan jika firasatnya akan segera terbukti.
***
Setelah Abriel menunggu selama lebih dari empat puluh menit di warung kopi yang letaknya dekat dengan rumah Irena, akhirnya Irena muncul dari ujung jalan. Dengan tergesa-gesa, gadis berambut panjang itu menghampiri Abriel.
“El, sori banget. Aku kelamaan, ya?” ujar Irena tampak menyesal. “Sori juga kamu terpaksa harus nunggu di sini, soalnya Papa emang belum pergi ke lapangan. Untung deh, aku ikutin feeling-ku.”
“Nggak apa-apa,” ujar Abriel, memang tidak merasa keberatan sama sekali.
Mereka pun langsung berangkat menggunakan motor Abriel, dan sampai ditujuan sesuai waktu yang diperkirakan.
Dan meskipun Alun-Alun Kota Bandung sangatlah padat di hari Minggu, terutama parkiran di deretan gedung distro pinggir jalan utamanya, Abriel beruntung bisa memarkirkan motornya di sana. Sambil celingukkan, Irena melepas helmnya dan menyerahkannya kepada Abriel.
“Alun-Alun, El?” cetus Irena dengan heran.
“Kamu dulu pernah nyetusin ide gila yang langsung aku tolak. Yup, di sini tempat buatnya. Ingat, nggak?” gumam Abriel santai.
Irena mengerucutkan bibirnya. Lalu, ketika ingatan tersebut mengempas kepalanya, ia refleks memekik. “Tato! El, seriusan kamu mau ditato? Serius? Serius? Seriuuuus? Tapi, emang kamu mau ditato? Kan kamu donorin darah!”
Abriel terkekeh. “Makanya, tatonya stiker doang, yang ilang kalau digosok pakai air. Kita pilih-pilih modelnya di emperan sana, tuh.” Abriel akhirnya tak kuasa untuk menahan tawanya, sementara Irena merengut di sampingnya. Abriel pun segera mengaitkan jemarinya di sela-sela jemari Irena.