Di sekolah, selama lima hari berikutnya, Abriel duduk sendirian di kelas. Hingga lusa mendatang, Adit barulah diperbolehkan kembali menginjak sekolah. Itu termasuk keberuntungan yang patut disyukuri Adit, sebab ia urung dikeluarkan mengingat kesalahannya termasuk fatal.
Meski begitu, Abriel tidak mengetahui berita itu dari Adit langsung. Tomi-lah yang tahu-tahu menyampaikannya seolah ia berkewajiban menjadi penengah komunikasi kedua temannya yang tengah memanas dan merenggang. Dengan sungkan dan tak enak, Tomi pun menambahkan bahwa Adit memintanya secara khusus bertukar tempat duduk dengannya. Abriel langsung menerima usul itu. Ia tahu itulah yang terbaik dan diinginkan baik ia maupun Adit.
Abriel juga yakin, sedikit-banyak Adit telah bercerita pada Tomi mengenai masalah mereka.
Ingatannya masih jelas, ketegangan hari itu masih bisa dirasakannya. Lobi The Palm adalah tempat terakhir ia berbicara dengan sahabatnya itu. Sejak itu, komunikasi mereka seratus persen terputus.
Meski banyak hal buruk yang terjadi belakangan, Abriel tidak dapat berlama-lama larut dalam masalahnya. Karena try out terakhir untuk Ujian Nasional sudah hampir di depan mata. Hari-hari Abriel kini disibukkan dengan soal-soal latihan dan proyek komiknya yang perlahan namun pasti terus dikerjakannya. Ketika ia sedang jengah dengan soal-soal, proyeknya seolah menjadi oase yang kembali membuatnya bersemangat.
Alih-alih mengurung diri di kamarnya, kini Abriel lebih sering melakukan aktivitasnya di balkon lantai dua rumahnya. Duduk dengan kopi dan camilan buatan si Mbak tersaji di meja. Dan saat hujan turun mengguyur bumi, ia merasa idenya ikut menghujam kepalanya lebih deras bersama instrumen kedamaian yang diciptakan rintikan hujan.
Dari balkon itu jugalah, ia bisa memandangi jendela lantai atas rumah itu. Yang kadang terbuka, membiarkan segelintir embusan angin menyusup masuk.
Pemuja senja itu masih sering dilihat Abriel, pergi dan pulang bersama pengantar-jemputnya yang setia: Adit.
Tak lagi Isabel datang dan pergi dengan orang asing. Sedikit, kenyataan itu membuatnya lega. Secuil yang lain, ia merasa sedih untuk dirinya. Ia cemburu, tentu saja. Tapi ia bisa apa? Isabel pantas didampingi seseorang yang lebih baik darinya.
***
Pada Minggu berikutnya, Abriel sampai harus mengerutkan dahinya dalam-dalam ketika menatap layar ponselnya. Ketika itu ia baru saja pulang pelajaran tambahan dan hendak menggelar buku sketsanya di atas meja belajarnya.
“Halo,” ragu-ragu ia menjawab panggilan itu.
“El!” sahut suara riang itu. Suara Irena. “Kamu lagi ngapain?”
“Mmm ... Ini baru balik ...,” ujarnya setelah terdiam beberapa detik.
“El! Aku punya kabar penting nih buat kamu. Kemarin kan aku dateng ke acara syukuran tujuh bulanan tetehnya Sasa, di sana aku ketemu sama tantenya, kita nggak sengaja ngobrol-ngobrol gitu. Eh, nggak tahunya tantenya itu editor di Fixmedia, lho!”
“Maksud kamu Fixmedia penerbitan itu, Na?”
“Iya! Yang kantornya di Jakarta Pusat.”
Abriel mendadak bersemangat, tertarik. “Terus, terus?”
“Terus aku ceritain tentang kamu. Yah, awalnya kayak nggak tertarik gitu soalnya komik memang bukan bagiannya Tante Asri. Tapi aku terus yakinin. Dapat deh kartu namanya,” Irena meneruskan. “Tante Asri bersedia antar naskah komik kamu ke temennya yang memang bagiannya buku bergambar, termasuk komik. Kamu tahu komik Blink, kan? Nah itu juga terbitan Fixmedia.”
“Serius kamu, Na?”
“Serius, lah.”
Abriel tidak tahu harus berkata apa lagi.
“Terus, apa yang perlu aku siapin?”
“Gimana kalau aku main ke rumah kamu aja sekarang? Mumpung aku lagi nggak ada latihan.”
Abriel menimang-nimang sebentar. Ada sesuatu yang berkecamuk di dadanya.
“Kamu mau aku jemput?”
“Nggak usah. Aku bakal diantar Andre. Tadi dia yang nawarin diri. Sebenarnya aku mau ngasih surprise, tapi rasanya nggak enak juga kalau tiba-tiba aku nongol di rumah kamu.”
Napas lega terembus tanpa disengaja. “Lega kamu bisa baikan sama Andre, Na. Eh, jam berapa kamu mau ke sini?”
“Nih, aku lagi nunggu Andre jemput. Sekarang aku lagi di Pizza Country. Nanti aku take away meat addict-nya ya, buat ngerayain berita besar ini.”
“Na, makasih banyak, ya ... Makasih. Buat kabar baik ini dan pizza-nya,” Abriel berkata sungguh-sungguh dari dalam hatinya yang paling dalam.