My Weird Neighbor

andra fedya
Chapter #32

32. Kesempatan Yang Hilang

If you love her, tell herMaybe she loves you too,” ucapan Irena di tengah perjalanan mereka membuyarkan konsentrasi Abriel pada kemudinya. ”Nggak maju karena mikirin perasaan Adit?” Irena menambahkan.

 “Bukan gitu ...,” rutuk Abriel.

 “Aku nggak terlalu paham masalah kalian serumit apa ya, El. But, saranku sebagai orang yang sebut aja tahu kamu banget, dan kenal Adit. Kalian bisa menimang kok siapa yang harus mundur dan maju. Kalian sama-sama tahu kapasitas kalian.”

 Abriel menghela napas.

 “Kamu tuh suka terlalu sulit sama diri sendiri, tahu,” komentar Irena lagi.

 “Udah terlambat,” Abriel akhirnya berkata, pelan dan lirih. “Mungkin si Adit sekarang ini udah dapetin jawaban yang dia harapin.”

 Irena menggeleng-gelengkan kepalanya, tak habis pikir. “Adit emang anaknya sembrono, aneh dan ngasal. Tapi dia bukan orang yang bakal merendahkan dirinya. Percaya deh, Adit pasti menginginkan hasil yang adil. Dia pasti ngasih kesempatan untuk Isabel memilih.”

 “Masalahnya, dia emang pantasnya sama Adit yang nggak menya-menye menentukan sikap. Nggak kayak aku.”

 “Oke, kalau gitu keputusan kamu. Tapi kamu jangan nyesal ya, karena nggak pakai kesempatan kamu ....”

 Mereka sudah sampai di depan rumah Irena. Abriel mematikan mesin mobilnya.

 “Soal Tante Asri, kita kabar-kabaran lagi nanti. Aku janji bakal bantu kamu buat nerbitin komik kamu.”

 “Na, thanks, ya, soal itu. Jujur, itu bikin aku lebih tahu tujuan aku nerusin komikku.”

 “Jangan makasih lagi, please. Inget, mimpiku dulu adalah melihat karya salah satu dari kita terpampang di etalase toko buku,” sela Irena langsung.

 Sebelum Irena membuka pintu mobil seutuhnya, ia mendadak kembali menatap Abriel.

 “El, Isabel tadi itu cemburu lagi, sama aku. Kamu harusnya ngeh gestur dia pas lihat kita berdua.”

 Abriel merengutkan alisnya. “Nggak mungkin banget dia cemburu ....”

 Irena mencebikkan bibirnya. “Terserah kalau kamu nggak percaya. Emang ya sejak dulu intuisi kamu itu kurang bekerja—gabut mulu.”

 

***

Setelah menyelesaikan pekerjaannya, Isabel segera menuju parkiran. Ia menemukan mobil Adit sudah terparkir di sana. Sambil menarik dalam-dalam napasnya, ia mengupayakan wajahnya agar sedikit terlihat baik.

 Sepanjang perjalanan pulang Isabel lebih banyak diam. Adit yang lebih banyak membuka topik pembicaraan sehingga Isabel hanya perlu menanggapi.

 Sebetulnya, bukan hanya pemandangan sore itu saja yang membuat hatinya murung sejak tadi. Tapi juga karena hari ini akan segera berganti, dan esok ia akan mengakhiri sesuatu: Isabel sejatinya benci akan perpisahan. Baik itu hal yang positif maupun negatif. Ia benci sensasi itu, seolah-olah sesuatu dalam tubuhnya direnggut paksa darinya.

 Mereka sampai di rumah Isabel ketika bulan yang sejak tadi tertutupi awan baru saja menampakkan diri. Sebelum turun, Isabel tak sengaja melirik ke arah kotak beledu hitam yang tergeletak di bagian belakang jok mobil Adit. Ia mengenali embos emasnya. Hatinya kembali terasa jengah.

 Isabel lalu mendahului Adit ke depan pintu rumahnya. Begitu Adit sampai, Isabel menghela napas.

 “Dit, saya takut nyakitin hati kamu kalau kamu minta saya ngasih kamu kepastian dalam waktu dekat,” ujarnya langsung.

 Adit refleks mematung. “Maksud kamu gimana?”

 Isabel mengerjap jengah. “Ada boks Lee Company di jok belakang mobil kamu. Itu buat saya, kan?” Isabel meraup kedua tangan Adit. “I'm so sorry, Dit. Saya mungkin cewek paling gila dan nggak tahu diri karena ngomong gini sama kamu. But, jujur, saya belum ada perasaan apa-apa sama kamu. Masih belum ....”

 Adit mengangguk lambat. “Bel, kayaknya kamu salah sangka, deh. Tapi itu bukan buat kamu. Itu kado untuk mamiku.”

Lihat selengkapnya