Pukul tiga sore lewat enam belas menit, anak lelaki berambut cokelat gelap dengan bibir merah itu tampak serius membungkuk mengerjakan tugasnya: lima ratus kata. Tugas mengarang yang diberikan guru Bahasa Indonesia di sekolahnya. Harus dikumpulkan Senin nanti. Topiknya mengenai lingkungan.
Di tengah keseriusannya, si Mbak muncul dari ambang pintu yang membuka untuk membawakannya camilan. Saat itu Jensen sedang menggigit-gigit ujung pulpennya seraya memandangi langit dari balkon lantai dua rumahnya, mengikuti gaya kakaknya ketika sedang mencari inspirasi.
Usai meletakkan sepiring sosis goreng beserta segelas jus jambu ke atas meja, si Mbak yang tadinya akan langsung meninggalkan Jensen, tampak tertegun. Matanya tertumbuk pada sebuah benda pipih berwarna putih yang tergeletak di dekat pot tanaman. Si Mbak pun memutuskan untuk memungutnya, namun sebelum si Mbak akan meneliti lebih jauh, Jensen keburu merebutnya. Dengan rusuh dan asal-asalan, Jensen membuka lapisan kertas yang membungkus sekeping batu itu.
Dengan bibir mengerucut, sadar akan sesuatu, Jensen meratakan kertas itu di atas meja kemudian membaca kata per kata yang tertulis di sana. Dahinya lalu terangkat ketika ia selesai membaca seluruh isinya.
“Kakak belum pulang, Mbak?” tanyanya langsung. Wajah mungilnya tampak berpikir.
“Belum. Coba Mbak lihat.” Kali ini giliran si Mbak yang membaca tulisan itu. Sambil memekik tertahan, si Mbak melipat kertas kusut itu.
“Kayaknya Kak El belum baca surat ini, ya?” ujar Jensen, menyimpulkan.
“Kita harus cepet telepon Kakak El. Gawat ini kalau nggak ketemu.” Si Mbak menatap anak di hadapannya dengan tampang serius.
Jensen mengangguk sepakat. “Aku aja yang ngomong.” Ia pun bergegas menuju lantai satu dan segera menekan nomor ponsel kakaknya yang ia sudah hafal di luar kepala.
Enam nada sambung mendebarkan sebelum kakaknya mengangkat teleponnya. Terdengar suara bising khas jalan raya sebelum kakaknya menjawab.
“Kak, Kakak di mana sekarang?”
“Di jalan. Ada apaan, Sen?”
“Kak, sekarang Kakak lagi nyari cewek itu, kan?”
“Apaan? Nggak kedengaran, Sen.”
“Kak, Kakak sekarang lagi nyariin pacar Kakak, kan?” teriak nyaring Jensen ke corong telepon.
“Aduh, nggak usah teriak-teriak gitu, kali, Sen!” protes Kakaknya.
“Kak, aku nemuin surat dari dia di balkon rumah. Pake batu. Jadi kertasnya ngebungkusin batu ....”
“Hah? Surat dari Isabel? Terus, terus, isinya gimana?”
“Aku bacain aja, nih?” Jensen pun berteriak sekali lagi untuk memanggil si Mbak. Setelah si Mbak datang dan memberikan kertas itu padanya, Jensen pun langsung mulai membacakan keras-keras, ”ABRIEL, KAMU ADALAH PENANDA ....”
“Stopstopstooop—” potong kakaknya cepat, padahal Jensen baru saja memulai. “Coba bilang Mbak, fotoin aja suratnya terus kirim via Whatsapp ke Kakak. Si Mbak pakai WA, kan?”
Jensen mendengus kesal, padahal ia ingin mengambil andil sepenuhnya tanpa melibatkan si Mbak. “Ya, udah. Nanti aku minta si Mbak kirim.”
***
Abriel,
Kamu adalah penanda saat hati ini tersesat, remahan roti bagi Hansel dan Gretel yang putus asa, atau kalau itu kurang dramatis, kamu adalah rasi bintang yang penuh makna bagi bangsa Babylonia
Kamu tahu artinya? Kamu itu penting dalam hidup saya. Dan rasanya aneh, saat saya sadar tentang itu. Hati ini, meski telah rusak, selalu menunggu ... ketidakpastian, apapun, asalkan kamu, segalanya terasa solid
Saya bukan seseorang yang melodramatis atau peka. Butuh waktu sangat lama buat saya menyadari sesuatu di antara kita. Iblis di dekat saya mungkin terlalu kuat, atau malaikatnya yang terlalu jauh ketika menjaga saya
Saya yakin, kesempatan untuk saya berterusterang tentang perasaan saya akan datang. Karena nyatanya, meski saya memaksakan supaya kompas saya mengarah ke Barat, menghadap Adit, panah itu selalu menunjuk ke arah kamu
Saya baru sadar bahwa perasaan saya butuh diperjuangkan juga, setelah saya melihat perjuangan Adit untuk saya ...
Kamu mungkin bisa menghindari saya, tapi tidak dengan hati kamu dan bayangan kamu yang terus mendatangi saya, memeluki saya
Kepedean? Mungkin kamu akan berpikir gitu. Tapi bukankah kita harus mempertimbangkan perasaan itu, jika tulang-belulangnya saja yang selalu terbebat gelap, merindukan orang tersebut
Saya harap kita diberikan takdir satu kesempatan untuk saling menyatakan. Hanya hari ini saya akan menunggu, karena besok adalah ketidakpastian yang berulang kembali, dan saya nggak sanggup lagi bertahan
Tolong juga bilang sama Mummy saya kalau saya akan menginap selama dua hari di Green House and Club, bujuk Mummy supaya nggak mencari saya karena saya akan pulang
Nah, sekarang giliran kamu. Untuk kamu. Undangan ini.
Patung itu utuh, tapi tidak melihat. Jika lima dikurangi satu akan lenyap, bisakah kau datang mendahului empat dan senja yang jahat?
Satu itu harapan, dua itu kebimbangan, tiga itu keberuntungan, empat itu takdir, lima itu kesedihan, enam itu perpisahan, tujuh itu titik balik, delapan itu asing, sembilan itu milik bulan, dan segalanya akan kembali kepada gelap ...
- I S A B E L -
Hati Abriel berdegup cepat menembus waktu, khayalan yang seirama dengan harapannya. Kebahagiaan masih terlalu jauh untuk terwujud, dan waktu terasa mengejar bagaikan iblis dalam wujud detik.
Hanya setengah menit yang tersisa. Lalu waktu bergulir sekali lagi, menyisakan beberapa detik yang mengambang.
Ia akhirnya menemukan bangunan megah itu. Sedetik, ia menyesali keputusannya tadi untuk berkeliling ke arah yang berkebalikan.