Abriel menemukannya setelah hampir satu jam lamanya ia berdiri di lobi hotel itu. Gadis itu terlihat menunduk ketika melangkahkan kakinya keluar dari koridor di belakangnya. Untuk sesaat, Abriel hanya memandanginya. Hingga akhirnya gadis itu mendongak dan mata mereka bertemu.
“Dan angsa tersesat itu pun ditemukan,” ujarnya seraya menghampiri Isabel. “ Aku cuma terlambat enam belas menit, tapi kamu udah pergi. Aku baru dapat surat kamu jam setengah empat sore—kebayang, kan?”
Isabel hanya merengutkan dahinya, tampak tidak begitu menyimak ucapan Abriel.
Meski mendapat reaksi dingin, Abriel tetap berjalan di sebelah Isabel. “Bajuku basah semua gini apa kamu nggak kasihan?” ratapnya. “Tadi sampai bisa diperas, lho.”
Isabel masih terus berjalan, mengikuti lampu jalanan, tak jelas arah tujuannya. Sementara Abriel masih mengekor dua kaki di belakangnya.
“Kita naik motor aja, yuk. Motorku masih diparkir di dalam,” desah Abriel, tapi Isabel tidak tampak memedulikan.
“Kamu aja yang naik motor, aku lagi butuh waktu untuk mikir.”
Tanpa berkata-kata lagi, Abriel pun mengikuti punggung Isabel. Hingga di percabangan jalan, Isabel tampak berhenti untuk memilih jalan yang akan dituju.
“Betulan yang kamu tulis di surat kamu, tentang perasaan kamu?” Abriel kembali berkata.
Isabel sudah memilih jalan, ke kanan. Sambil mantap melangkahkan kaki, ia masih memandang jalan lurus-lurus. “Tadinya sih, iya.”
“Tadinya? Emang sekarang gimana?” Abriel kembali menjajarkan langkahnya dengan gadis itu.
Isabel menghela napas. “Ngakunya gentle, tapi lihat cewek bawa tas segede gini aja kamu nggak inisiatif nawarin diri buat bawain.” Isabel mengedutkan tas dalam genggamannya.
“Eh, sori, sori.” Abriel pun segera mengambil alih dua tas Isabel.
Dalam keheningan, mereka pun berjalan beriringan.
“Hari ini saya ketemu sama orang-orang yang bully saya waktu SMA,” cetus Isabel tiba-tiba. “Mereka jebak saya, pura-pura hired saya, tahunya mereka sengaja mau ngerjain saya.”
Langkah Abriel refleks terhenti, rahangnya sontak mengeras. “Kenapa kamu nggak bilang dari tadi? Terus, apa yang mereka lakuin sama kamu?”
Isabel menengok. “Rasanya malah lega. Hari ini pertemuan dengan mereka nyadarin saya banget, kalau nyatanya saya udah sembuh. Mungkin selama ini sebenarnya saya udah sembuh.”
Sebelah tangan Abriel terjulur untuk menggenggam jemari Isabel yang dingin. Tanpa kata-kata, kali ini Abriel-lah yang membimbing langkah keduanya. “Nggak akan aku biarin ada yang nyakitin kamu lagi. Mulai sekarang, aku janji akan ada terus buat kamu. Mau kamu usir, aku bakal tetap di sini kamu. Terserah aku, kamu jangan ngatur lagi.”
Isabel mendongak, tapi Abriel tidak balas menatapnya, melainkan menatap lurus jalanan di depannya. Rapat, Isabel bisa merasakan genggaman itu membuat sekujur tubuhnya diliputi getaran dan kehangatan yang amat disyukurinya hingga ke dalam hatinya, mencairkan bagian-bagian yang keras dan beku.
***
Ada bagian yang berusaha dipadamkan di dalam hatinya. Menyakitkan, tapi sekaligus melegakan. Dengan begitu, ia tidak lagi terbelenggu fase panjang penantian itu. Tapi ia tidak yakin ketika ia memasuki fase barunya kini, melupakan—merelakan, itu akan semudah ketika ia dibuatnya jatuh cinta.
Adit mendorong kursi mobilnya ke belakang hingga ia bisa merebahkan diri sekaligus merilekskan sebagian syarafnya yang menegang dan kaku. Meski di luar sana teman-temannya tengah berkumpul, ia belum ingin bergabung dan meringkuk di tengah keramaian itu.