Beberapa hari sebelum masa orientasi di kampus barunya, Abriel menerima telepon dari Mbak Wilda, yang memberinya kabar baik kalau naskah komik yang ia antarkan lima minggu sebelumnya, mendapat respons positif dari pihak penerbit. Menepati janjinya, Abriel pun mengajak Irena dan Adit untuk merayakan momen penting tersebut.
Adit menyusul mereka setelah ia mengantar gebetan barunya pulang. Entah siapa nama gadis itu, karena Abriel tidak benar-benar menyimak saat terakhir kali Adit berceloteh padanya. Alasannya karena ia yakin tak lama lagi Adit sudah pasti akan memberitahunya nama lain.
Tidak seperti dirinya, sepertinya Adit sudah melupakan Isabel ... Atau barangkali, anak itu hanya berputar-putar layaknya bumi yang berotasi, tetapi terbelit matahari purba yang lama? Entahlah. Yang jelas, pernah satu waktu Adit menanyakan kabar Isabel, sekilas, sekelebat, jenis pertanyaan yang sebetulnya tidak butuh jawaban.
“Nggak nyangka lo bisa masuk fakultas ekonomi ya, Dit,” cetus Irena seraya mengiris steak-nya. Malam itu mereka makan di salah satu kafe ternama di Jalan Riau. Abriel yang mentraktir.
Adit terkekeh. “Hoki doang ... Nah, lo siap-siap deh, Dung. Tahun depan kan lo masuk kuliah. Belajar lo dari sekarang ... jangan pacaran mulu.”
“Huuu ... Belagu ya sekarang mentang-mentang udah jadi anak kuliahan,” cibir Irena.
“El,” ujar Adit yang menyadari bahwa sedari tadi sahabatnya itu hanya memandangi makanannya tanpa memakannya. “Kok, lo nggak kayak happy, sih? Come on, Nyet, komik lo terbit bentaran lagi, lho!”
Abriel terenyak. “Biasa ... Kurang tidur gue.” Ia buru-buru melahap makanannya.
Irena menyeruput minumannya. “Gimana, udah ada kabar dari si Angsa?”
Abriel tertegun sejenak mendengar panggilan itu disebut. Ia menggeleng. “Belum.”
“Wait, wait. Emang dia masih ngilang?” Adit tiba-tiba menyanggah.
Dengan murah hati Irena lalu menceritakan bagian yang diketahuinya pada Adit.
“Jadi, sejak terakhir kali lo bilang waktu itu, lo masih belum dapat kabar dari dia? Kenapa nggak cerita lo!”
Abriel kehilangan nafsu makanannya seutuhnya. Ia nyengir, mendorong piringnya seraya menghela napas. “Gue takut dibilang bego sama lo.”
“Ya elah, El. Enggaklah ... Masak gue tega ngatain lo bego. Yang ada gue bakal ngatain lo goblooook banget karena nggak melihat lebih jelas petunjuk di depan mata lo,” seloroh Adit.
“Maksud lo?”
“Mulai telusuri dari usaha nyokapnya—jangan yang di Bandung doang, lo ke Jakarta, kek, lebih niat. Come on, jangan maunya petunjuk di antar ke depan muka lo. Lo cari coba. Katanya lo serius sama dia ....”
“Udah gue pikirin, sih. Cuma kemarin belum ada waktu aja.” Ucapan Adit barusan seolah menamparnya. Selama ini yang ia lakukan lebih banyak menunggu ketimbang mencari.
“Aneh sih, menurutku,” tambah Irena. “Kalau dia sengaja menghindari kamu. Buat apa coba? Pasti ada sesuatu.”
“Atau dia memang masih butuh waktu,” sambung Abriel.
“Tapi sampai kapan kalian saling tunggu? Lo, Nyet, harus maju. Cari dia: kalau perlu lo berenang melintasi lautan artik, dah. Pokoknya cari dia. Titik.”
Menjelang pukul tujuh malam, Abriel dan Adit berpisah kendaraan di parkiran. Sementara Irena memilih untuk tinggal lebih lama di kafe itu, menunggu jemputan Andre.
Dalam perjalanan menuju rumahnya, Abriel merenungkan ucapan kedua penasihatnya itu. Barangkali ia memang kurang berusaha; barangkali selama ini ia hanya lelah menunggu bukan lelah mencari.