My Weird Neighbor

andra fedya
Chapter #38

38. Dua Hati

Ditemani gedung-gedung pencakar langit di sekelilingnya, Isabel berjalan pelan sambil mengecek e-mail di ponselnya. Sekelebat perasaan, mendadak saja ia merasa ada seseorang yang membuntutinya; nyatanya memang ada seorang pria bersetelan kantor berjalan tepat di belakangnya, terlihat begitu tergesa-gesa padahal saat itu hari masih terlalu dini dan gelap.

 Isabel memang sering lupa, di mana ia menjejakkan kakinya sekarang. Di Manhattan, New York City, pergerakan manusia bisa dikatakan mengalahkan kecepatan waktu, dan ajaibnya bisa secara fisik ditukarkan dengan gulungan materi yang tak mengenal kata sejati. Begitulah penilaian Isabel yang sudah lima bulan lebih lamanya tinggal di kota itu, magang sebagai asisten penata gaya untuk Pinklist Magazine, majalah remaja yang baru empat tahun belakangan berdiri tapi cukup digandrungi. Yang didirikan secara mandiri oleh suami sahabat Mummy-nya.

 Isabel sadar betul, bahwa pekerjaannya ia dapatkan bukan karena murni usahanya, tapi lebih pada koneksi. Maka, meski perannya yang melelahkan itu hanya digaji kecil, Isabel menjalani setiap harinya di tempat kerjanya dengan sungguh-sungguh dan sepenuh hati. Bukan hanya untuk membuktikan bahwa ia memang layak dipekerjakan, tapi lebih pada dorongan dalam dirinya untuk memaknai titik balik kehidupannya.

 Dan seperti biasa, jika ia pulang lembur pada dini hari atau jika ia sedang di luar rumah terlalu pagi, ia akan menyempatkan diri untuk mampir membeli sepotong croissant dan segelas kopi di Machbet & Moneta, toko roti langganannya. Setelah itu, bak sebuah ritual suci, ia akan mengarungi trotoar, berjalan satu blok dari toko roti itu supaya ia bisa memandangi etalase mungil toko perhiasan favoritnya, The Swannies.

 Seperti Holly Golighly dengan Tiffany's-nya, Isabel telah menemukan kuil agungnya sendiri di trotoar halaman The Swannies. Meski toko itu tidak semewah Tiffany's dan hanya menjual perhiasan antik dari perak, tapi menurut Isabel tempat itu amatlah spesial. Terutama karena lambang angsa raksasa yang terpatri di pintu masuk toko itu mengingatkannya pada dirinya. Seekor angsa, julukan yang diberikan seseorang padanya.

 Sambil melahap sarapan dan meneguk kopinya, Isabel memandangi bayangannya yang tipis terpantul di permukaan kaca jendela. Bukan salahnya kalau ia masih mengenakan T-Shirt bertuliskan Metallica, kardigan kebesaran, dan celana jins biru pudar. Setelannya yang kemarin. Ia tidak tahu kalau semalam akan jadi sesibuk itu sehingga ia dan timnya mendadak harus melemburkan diri.

 Di tikungan blok, ia mencegat taksi guna pulang ke apartemennya di West 45th Street. Kini, ia tinggal di unit studio lantai tiga gedung kelabu di kawasan tersebut, berhadap-hadapan dengan unit milik sepasang suami-istri baik hati asal Fort Collins yang kerap membantunya, Ben dan Alice Cunning.

 Usai membersihkan diri di kamar mandi, Isabel bermaksud untuk istirahat. Saat itulah pintunya diiketuk. Alice yang datang. Singkat cerita Alice memberitahu bahwa barusan ada seseorang yang menitipkan surat untuk Isabel padanya ketika Alice hendak masuk ke dalam gedung.

 Setelah berterima kasih pada Alice dan menutup kembali pintu apartemennya, Isabel membuka lipatan kertas itu. Ia perlu mengucek matanya berkali-kali untuk meyakinkan diri bahwa memang benar itulah yang tertulis di sana.

 Tanpa berpikir untuk mengganti pakaiannya, Isabel segera bergegas meninggalkan gedung apartemennya. Ia punya tempat mendesak untuk dituju.

 Beberapa waktu kemudian, ia sudah sampai di lokasi yang dimaksud, sebuah taman umum di West 48th Street, terletak beberapa blok dari apartemennya. Namun, sejauh mata memandang, hanya orang-orang yang asing baginyalah yang berseliweran di sana. Saat itulah, mendadak saja, Isabel merasakan ada seseorang yang menyentuh pundaknya.

 “Hey, you are Isabel?” sahut wanita berambut ikal padanya.

 “Um, yes.”

 Wanita itu menyerahkan sepotong kertas yang terlipat pada Isabel. “A guy just left this for you. He gave me twenty bucks to wait and give this to you here.”

 Isabel buru-buru membaca kertas itu. Sekali lagi, ia menarik napas sebelum kembali berjalan cepat. Kali ini, ia berhenti di depan sebuah kafe mungil bercat merah di 10th Ave, tak terlalu jauh dari taman sebelumnya, tempat yang tidak pernah ia perhatikan sebelumnya. Ketika ia masuk, pintu tersebut mendentingkan bel.

 Pramusaji kafe itu menghampiri Isabel, memastikan hal yang sama dengan orang-orang sebelumnya, “Excuse me, are you Isabel?”

 Isabel mengangguk. “Yes.”

 “Please, have a seat,” katanya dengan ramah. “And please wait for around ten minutes.”

 Isabel merasa tak punya pilihan, meski hatinya dipenuhi perasaan meluap-luap.

 Ketika Isabel sedang membaca ulang surat kedua yang ada di tangannya, alih-alih memberikan surat pramusaji tersebut malah menghidangkan seporsi spaghetti carbonara dan segelas es limun untuk Isabel.

 Isabel yang merasa tidak memesan makanan itu langsung memprotes, “Sorry, guess you might be mistaken—I didn't order any of these.”

 “But it's good. This guy ordered them for you, he said you should enjoy the food; don’t worry about the bill. And I also have something for you when you finish,” jawab pramusaji itu.

 Isabel tidak lapar, tapi toh semua makanan itu ia habiskan dengan cepat. Tanpa menunggu makanan itu turun, Isabel segera memanggil pramusaji tersebut dan meminta haknya.

 Di depan kafe itu, Isabel kembali membaca surat yang baru diterimanya. Lokasi berikutnya yang harus ia datangi, tertera di dalam lipatan kertas itu. Alasan Isabel memercayai isinya berasal dari Abriel adalah karena lambang angsa yang digambar cowok itu, angsa yang sama yang menjadi lambang di sampul komiknya. Buku yang tak pernah lepas dibaca Isabel setiap hari, sebelum ia terlelap, ketika ia gelisah, atau merindukannya. Buku itu, bukan hanya sekadar komik mengenai petualangan fantasi yang tercipta dari khayalan liar penciptanya saja, tapi juga terasa seperti bagian dari dirinya. Ia sadar, dengan sungguh-sungguh Abriel menciptakan Mazzy melewati jiwa dan pikirannya.

 Bunyi klakson taksi yang marah karena sebuah mobil van berhenti mendadak di depannya membuyarkan lamunan Isabel. Tanpa menunggu lagi, Isabel kembali memacu langkahnya.

 Dan, di sanalah ia sekarang. Di 9th Ave. Di depan toko besar yang terbagi menjadi beberapa area, menjual berbagai macam kostum hingga DVD film. Sesaat Isabel sempat meragu, sebelum ia mendorong pintunya yang terbuat dari kaca tebal dan berat.

 Seperti si pramusaji, seorang karyawan otomatis menghampirnya dan tanpa banyak kata memberikan sepucuk surat dan sebuah buku.

 Hati Isabel terasa dicubit. Ia mengenali buku itu. Itu adalah buku sketsa yang pernah dilihatnya dibawa cowok itu. Isabel mendahulikan membuka surat itu, hanya tertulis:

 Hai, Angsa.

Kamu sudah hampir sampai di akhir. Barusan aku ajak kamu jalan-jalan sebentar. Maaf bikin kamu capek ... dan mungkin kesal?

Dulu, untuk makan mi ayam aja kita susah banget. Barusan, anggap aja aku duduk di sebelah kamu saat kamu makan spaghetti kamu. Kamu juga sempat jalan-jalan di taman, kan? Bayangin juga itulah first date kita. Dan kita ngobrol banyak di sana.

Untuk acara nonton di bioskop kita yang sempat batal, boleh nggak kamu pilih satu DVD di toko itu. Dan setelahnya, kalau kamu nggak keberatan, saat nanti kamu nonton film itu, bayangin aku duduk di sebelah kamu. Tangan kita pegangan sampai dengan akhir film, kepala kamu nyender di bahu aku kayak waktu perjalanan kita menuju Subang.

Tujuan terakhir, kamu mungkin harus naik taksi yang udah nunggu kamu di depan toko. Nama sopirnya, Abe. Sempurna, ya. Aku, Abriel. Kamu, Abel. Dan sopir yang akan nganterin kamu namanya Abe. Semoga hadiah terakhirnya, kamu suka.

 

Isabel pun memilih satu film lama dengan cepat: Psycho. Film yang dirilis tahun 1960 yang sukses diperankan oleh Anthony Perkins dan Janet Leigh.

Lihat selengkapnya