Aku mengakhiri hariku dengan menyalakan televisi, memilih siaran talk show pukul sembilan malam. Kaos kaki tebal membungkus kakiku, selimut hangat menyelimuti tubuhku, dan kudapan hangat ada di sampingku. Di luar jendela, salju pertama turun dengan tenang, menutupi dunia dalam putih yang sunyi.
Aku tidak peduli jika salju akan menumpuk. Segalanya sudah kusiapkan untuk bertahan selama musim dingin. Tidak ada rencana keluar rumah. Pekerjaan yang hampir seluruhnya bisa dikerjakan dari rumah memberiku alasan untuk tetap tinggal di sini, dalam kehangatan.
Aku mengganti saluran secara acak sampai tiba-tiba terhenti pada sebuah talk show. Wajah di layar membuatku terpaku. Seorang penyanyi yang baru kembali setelah lima tahun menghilang. Lima tahun penuh keheningan. Aku mengenalnya lebih baik dari yang diungkapkan oleh cerita pembawa acara.
Dan tiba-tiba, kenangan itu menyerbu.
***
Langit senja di kaki gunung saat itu memerah, memberi tanda bahwa malam segera tiba. Aku berjalan kembali ke tenda setelah membeli bahan makanan dari kantin kecil. Udara dingin menusuk, tapi langkahku ringan. Perkemahan ramai oleh para pendaki yang datang dan pergi, tapi aku merasa cukup sendiri di sudut area yang kupilih.
Tenda di sebelahku berdiri rapi—baru saja didirikan, sepertinya. Aku tidak terlalu memperhatikan siapa pemiliknya. Fokusku saat itu hanyalah beristirahat dan menikmati malam dengan tenang.
Setelah makan malam sederhana, aku duduk di depan api unggun kecil yang kubuat sendiri. Novel yang baru ku beli terbuka di tangan, sementara suara api yang berderak menjadi musik latar yang sempurna. Dunia di sekitar terasa damai, seperti sebuah jeda dari keramaian hidup.
Tapi kemudian, di tenda sebelah, seseorang berusaha memperbaiki api unggunnya yang hampir padam. Aku hanya melihat sekilas—punggungnya, gerak-geriknya yang akrab tapi tidak kuperhatikan lebih jauh. Fokusku kembali pada halaman-halaman buku di tanganku.
Saat kayu-kayu itu akhirnya menyala dengan sempurna, dia berdiri. Dan ketika dia berbalik, mata kami bertemu.
Waktu seolah berhenti.
Tidak ada suara selain api yang berderak, dan angin malam yang berhembus perlahan. Aku hanya bisa menatapnya, merasakan udara yang tiba-tiba berubah. Dia juga tampak terkejut, sama seperti aku.
Wajah itu—wajah yang dulu pernah menjadi bagian dari hidupku—ada di hadapanku lagi. Lebih dewasa, lebih tenang, tapi masih menyimpan sesuatu yang tidak berubah.
Kami tidak langsung berbicara. Hanya berada di tempat masing-masing, saling menatap. Ada banyak yang ingin kuucapkan, tapi tidak ada kata yang cukup. Waktu sebelas tahun seolah menguap begitu saja, tapi juga terasa hadir di antara kami, seperti pengingat akan jarak yang pernah ada.
Dia akhirnya tersenyum kecil, mengangkat tangannya sedikit melambai kearahku dengan kikuk, seolah bertanya apakah ini nyata. Aku mengangguk pelan.
Aku dan dia sudah lama tidak bertemu. Kami berpisah saat kelulusan SMA. Aku memilih melanjutkan studi di luar negeri dan dia di sibukkan dengan rutinitas sebagai trainee calon idola di masa depan. Sebelumnya kami hanya di pertemukan di dalam sebuah kelas selama tiga tahun berturut-turut. Hanya sekilas sebagai teman sekelas, tak ada ada hubungan sama sekali, dan aku juga jarang berinteraksi dengannya. Kami punya kesibukan sendiri-sendiri. Namun setelah puluhan tahun, akhirnya kami mengetahui satu sama lain, bahwa kami adalah cinta pertama satu sama lain yang hanya bisa kami pendam dan mengganggu satu sama lain.
Malam itu, kami tidak membutuhkan kata-kata yang mengoda. Hanya duduk di dekat api unggun masing-masing, membiarkan lebih banyak keheningan berbicara. Tidak ada janji, tidak ada harapan besar. Hanya kebersamaan yang terasa cukup untuk saat itu.