Kenapa aku mau-maunya secara sukarela menjadi closing duty saat masih ada Reno dan Didit, manajer pria yang masuk di hari ini. Padahal Mall General Manager secara terbuka mengatakan, bahwa closing duty tidak diprioritaskan untuk manajer wanita, karena beresiko saat pulang malam dan tanggung jawab yang diemban.
Jika memang keinginan sendiri dan memang rumahnya tidak jauh dari mal, beliau mempersilakan saja, nanti akan diantarkan pulang oleh jemputan kasir wanita khusus shift malam dan tidak boleh memakai kendaraan pribadi saat kasir dan manajer wanita shift malam juga closing. Jemputan memang dikhususkan untuk kasir wanita karena mereka selalu pulang sampai tengah malam, untuk menghitung uang yang diperoleh dan memastikannya balance dengan sistem kasir.
Terdengar kata-kata pak Rafli di telingaku secara ajaib, katanya manajer wanita tolong jauh-jauhlah dari tugas sebagai closing duty. Ah, apakah aku mata duitan? Mengumpulkan pundi-pundi uang ketika menjadi duty itu menggiurkan. Saat menjadi duty apalagi menjadi duty closing, kita akan dapat bayaran senilai dua ratus ribu rupiah. Apakah aku setamak itu? Padahal aku tak pernah berutang.
Ah, lupakan.
Fokusku sekarang harus pada Ana, ada apa dengannya? Ah, bisa-bisanya mengganggu rencana berendamku walau pada akhirnya aku rela ditinggalkan teman-temanku demi mencari dulu keberadaan Ana.
"Kita cari bareng, Sil." Didit menghampiri, dia berbicara dengan sapaan santai karena seumuran denganku, sama seperti Reno.
"Iya, kamu kan perempuan, berdua doang nyari sama Pak Heri, gimana kalau emang, amit-amitnya, Ana ada apa-apa." Bu Cindy, sepertinya setuju dengan omongan Didit.
"Reno, Riyan, Eka, kalian mau bantu juga, gak? Kalau engga, gak apa-apa, kalian tunggu aja di kosan nanti kalau udah selesai kita jemput," sambung Didit.
"Aku ikut aja," kata Eka, sambil menjepit poninya ke belakang, mungkin supaya tidak kagok.
Reno dan Riyan, mengangguk bersama, tanda setuju.
"Aku simpen dulu aja tas pelanggan ini di rak penitipan lagi ya, pak? Nanti aja kalau udah selesai cari Ana sekalian di simpen di ruang CCTV-nya. Pak Heri juga kan ga akan ke atas dulu, ya?" Riyan kemudian mengembalikan lagi tas jinjing ke rak penitipan barang, lalu aku melihatnya menyimpan kertas ke rak yang sama di mana tas itu berada.
Pak Heri, kemudian memberi isyarat untuk kita berkumpul lebih dekat. Jadilah kami berdiri dan membentuk lingkaran.
"Bapak, Ibu, sebelumnya masih pada bawa HT kan?" Tanya pak Heri, walau dia bekerja lebih lama dari aku, dan selalu dipanggil dengan sebutan Bapak, nyatanya dia hanya dua tahun di atas aku, Didit dan Reno. Ia seorang assisten kepala securiti, jadi kami selalu memanggilnya dengan sapaan 'Pak'. Biasanya kami memanggil dengan sapaan Bapak/Ibu jikalau usianya di atas kami, jabatannya di atas kami ataupun setara, atau juga yang lama bekerjanya jauh di atas kami, bisa juga disebut senior.
"Aku, Pak Reno, Pak Didit, Bu Cindy, kami pegang HT. Aku gak tahu kalau Reka sama Riyan. Omong-omong emang bapak tadi ga lihat CCTV, atau bisa ulang rekaman CCTV kan?" Aku menggunakan sebutan 'Pak' pada Reno dan Didit agar terkesan lebih sopan di depan pak Heri.