Jordi Fabian adalah teman SMA-ku. Bisa dibilang dia terkenal karena kenakalannya. Dia satu dari beberapa orang di SMA-ku yang bermasalah dan sering keluar-masuk ruang BK. Dia pembuat onar nomor satu dan senang sekali berlagak sok jagoan. Aku pernah satu kelas dengannya ketika kelas satu dan dia pelanggan setia alpa di buku presensi. Aku tidak pernah benar-benar kenal dengannya. Namun, di sekolah banyak rumor yang beredar tentang dia dan mau tidak mau aku mendapat satu-dua informasi mengenai tingkah nakalnya. Mulai dari sering masuk terlambat, dikeluarkan di tengah pelajaran karena sering menirukan gaya bicara guru yang sedang mengajar dengan nada mencemooh, memimpin tawuran sekolah, sampai menggombali hampir setiap cewek cantik di sekolahku.
Akan tetapi, banyak juga yang menyukai Jordi, sebanyak orang yang tidak menyukainya. Sudah jelas para guru termasuk golongan yang tidak menyukai Jordi. Begitu pula beberapa murid pendiam dan kutu buku. Murid-murid lainnya, yang katanya mengenal baik Jordi, mengatakan bahwa Jordi tidaklah senakal itu. Dia ramah dan mudah bergaul. Namun, karena citra buruknya, sebagian dari mereka menjaga jarak sopan karena takut akan terbawa pergaulan Jordi.
Aku sendiri bukan tipe murid yang mencolok ketika SMA. Bisa dibilang, aku berada di tengah-tengah antara si pendiam dan si pencari perhatian. Aku berada di posisi netral karena berteman dengan kedua sisi itu. Aku tidak pernah benar-benar mengikuti murid-murid pendiam maupun murid-murid yang senang bergosip. Aku bersikap normal karena tidak suka mengambil risiko. Mungkin itu sebabnya aku tidak pernah bicara dengan Jordi. Pernah beberapa kali sewaktu kami sekelas dulu, tapi sisanya aku hanya pernah melihatnya ketika dia berjalan melintasi lapangan, ketika pergantian jam pelajaran dan murid-murid keluar kelas untuk melepas penat, atau ketika dia sedang berkumpul dengan teman-temannya di parkiran sekolah saat aku di kantin.
Citra dirinya yang tak kalah populer dengan kenakalannya adalah sifat playboy-nya. Jordi sebetulnya tidak terlalu tampan—setidaknya menurut pendapatku—tapi ada yang menarik dari dirinya. Caranya membawa diri, ada kesan bahwa dia memiliki kontrol diri yang mengerikan, yang menantang perempuan-perempuan di sana untuk mendekatinya. Caranya tersenyum tampak angkuh yang menandakan bahwa dia tahu dirinya disukai banyak orang karena wajahnya. Sudut bibirnya akan tertarik ke atas dan menampakkan satu lesung mungil tepat di atas sudut bibir kanannya, kerut-kerut di sudut mata ekspresifnya menambah daya tarik dirinya. Rambutnya hitam, sepekat bola matanya, alisnya melengkung tipis dan di tengah alis kirinya ada bekas luka yang membuatnya terlihat berbahaya. Tulang pipinya tinggi dan tegas, sementara dagunya bulat dengan belahan yang cukup dalam. Di sisi kanan rahangnya ada bekas luka lain yang cukup mencolok sehingga kita tidak mungkin mengabaikan parut sepanjang tiga sentimeter itu ketika melihat wajahnya.
Dan, yang paling mengintimidasi dari Jordi adalah postur tubuhnya. Dia mudah dikenali karena badannya yang tinggi besar. Dadanya bidang dan tampak kokoh, ada otot-otot yang menjanjikan untuk tumbuh lebih besar di bisep dan trisep dan bagian lainnya yang berakhiran sep. Kulitnya berwarna cokelat khas terpanggang matahari. Kakinya panjang dan jenjang sehingga caranya berjalan mengesankan seolah-olah dia sudah melewati tempat-tempat yang orang-orang dewasa singgahi. Mungkin jika aku berdiri di sebelahnya, tinggiku tidak akan lebih dari bahunya.