Sisi leher kiriku terasa tergelitik seakan tengah diperhatikan. Dan, itu terasa lebih menakutkan karena sepertinya Jordi-lah yang tengah memperhatikanku mengingat tidak ada orang lain di dalam perpustakaan ini selain kami berdua. Selain Mbak Gina tentunya. Dan, karena Mbak Gina tidak memiliki alasan untuk membuat bulu leherku berdiri, Jordi adalah satu-satunya jawaban. Menurutku, Jordi juga tidak memiliki alasan untuk memperhatikanku sehingga aku memberanikan diri untuk mengangkat wajahku ke arah Jordi dan membuktikan bahwa dia memang tidak sedang memperhatikanku.
Ternyata aku salah. Jordi memang tengah melihat ke arahku dengan pandangan ekspresifnya. Dan, napasku nyaris tersekat jika saja aku tidak mengendalikan diriku. Sebaliknya, aku mengangkat kedua alisku ke arah Jordi dengan tatapan bertanya meski dalam hati aku ngeri setengah mati. Jumlah lukanya bertambah satu di pelipis kanannya, berbentuk lingkaran tak jelas berwarna gelap. Dan, tidak mungkin aku tidak melihatnya karena tampak sangat jelas. Hidungnya juga sepertinya patah.
Jordi masih menatapku dan sekarang alisnya berkerut. Bibirnya terbuka sedikit seakan hendak mengatakan sesuatu, tapi seketika terkatup lagi dan dia memperhatikanku lebih saksama. Namun, aku bergeming dan tidak mampu mengalihkan pandanganku darinya karena ada sesuatu yang menarik tatapan mataku untuk melihatnya, seperti sebuah magnet tak kasatmata.
“Rasanya gue kenal lo.” Aku lupa bagaimana suara Jordi seharusnya, tapi suaranya kali ini terdengar berat, nyaris seperti orang bangun tidur, dengan serak pada setiap huruf vokal. Suaranya seberbahaya orangnya, membuat bulu-bulu di tanganku berdiri semua. Untung saja aku mengenakan kemeja lengan panjang.
Sebelum aku sempat membuka mulut, Jordi sudah lebih dulu bicara. “Lo Danisha,” ucapnya lebih seperti untuk dirinya sendiri. “Danisha Vebrin, right?” Dia menatapku dengan alis dinaikkan seperti yang kulakukan
Untuk sesaat tenggorokanku terasa kering. Dia ingat. Jordi ingat siapa aku. Entah bagaimana dia bisa melakukannya, tapi dia memang ingat aku. Dan, aku tidak tahu harus bicara apa.
“Yang selalu sama Erlin itu, kan?” tanyanya lagi.
Ya ampun. Dia bahkan ingat Erlin. Aku memberanikan diri untuk bersuara dan berharap suaraku tidak terdengar seperti cicitan. “Ya. Dan lo, Jordi Fabian.” Rasanya aku ingin tertawa. Itu ucapan yang bodoh. Tentu saja semua angkatanku tahu Jordi.
“Lo kuliah di sini?” tanyanya tidak benar-benar terkejut dan aku langsung sadar. Jordi menyapaku karena bosan duduk diam di perpustakaan. Mengenai dia mengenal aku atau tidak, itu hanya bonus. Mungkin sebelumnya dia menggali-gali ke dalam ingatannya di SMA dulu untuk menemukan namaku yang sudah berdebu di dalam otaknya sebelum menyapaku. Meski begitu, aku menghargai usahanya.
“Di Komunikasi,” jawabku dengan senyum simpul.
Jordi mengangguk dua kali. “Gue di Teknik Komputer.”
Karena tidak tahu harus merespons apa, aku hanya membulatkan mulutku seperti orang bodoh dan mengangguk dua kali. Ponselku bergetar tanda pesan masuk dan perhatianku segera teralih.
Sekarang aku tidak tahu harus bagaimana. Dan, karena sisi leherku masih serasa tergelitik seperti tadi, aku yakin Jordi masih memperhatikanku.
“Lagi enggak ada kelas?” tanya Jordi sehingga refleks aku mengangkat pandanganku untuk kembali menatapnya. Dia terlihat tidak ada pilihan selain mengajakku bicara sehingga aku jadi tidak tega mengabaikannya.