Jam sudah menunjukkan pukul 8 malam, tapi, Reva belum juga menunjukkan batang hidungnya di kafe itu. Padahal mereka membuat janji akan bertemu pukul 7. Tapi, sampai sekarang, belum ada tanda-tanda gadis itu menampakkan dirinya.
Nanti lo pesenin aja gue nasi goreng. Kalau gue telat.
Begitulah isi chat terakhir dari gadis yang ia tunggu sejak satu jam yang lalu. Untuk kesekian kalinya Rafa menghela nafas setelah membaca ulang pesan terakhir itu. Memastikan ia tak salah membaca sekaligus memeriksa gadis itu sudah memeriksa pesannya atau belum.
Setengah tahun sudah berlalu, kini keduanya sibuk dengan kegiatan tingkat sekolah yang baru. Reva yang sibuk dengan kegiatan OSIS dan Rafa yang sibuk dengan kegiatan lomba akademik dan non-akademiknya.
Semester satu akan berakhir, sebentar lagi UAS dan keduanya memutuskan untuk bertemu di kafe dekat sekolah untuk melepas stres dan mengobati rasa penasaran dengan menu di kafe itu karena keduanya belum sempat ke sana akibat sibuk dengan kegiatan sekolah yang cukup padat.
"Nih anak 15 menit lagi nggak ada kabar, gue cabut." Monolog Rafa sembari memandangi jam digitalnya.
Entah kalimat keberapa yang ia lontarkan karena kesal akibat Reva yang terlambat. Untung saja ia tidak berkata kasar. Ia masih cukup waras untuk melakukan hal tersebut di tengah keramaian. Dan tentunya ia tak ingin menjadi tontonan publik, apalagi kegiatan misuh-misuhnya yang tak direncanakan itu ternyata direkam. Maminya mungkin akan bangga akan hal itu tapi tidak dengan dirinya. Mau diletak dimana wajahnya kalau seandainya video misuh-misuh tanpa sebabnya menjadi viral?
Beberapa detik setelah mengatakan kalimat itu, orang yang ia maksud langsung muncul di pintu masuk. Ia mencari-cari keberadaan Rafa seperti seorang pencuri yang ketahuan mencuri. Tidak lama, ia menemukan Rafa dan lansung berjalan ke arah lelaki yang wajahnya sudah sedatar meja. Langkahnya tergesa-gesa menuju ke arah Rafa. Takut lelaki itu marah akibat kejadian tak terduga tadi.
"Sorry, Raf. Bener-bener ketos, ngerjain gue." Ucap Reva. Kemudian menduduki kursi itu. Mengatur nafasnya yang agak kacau akibat langkahnya yang lebar. Terburu-buru, takut Rafa menunggu lebih lama. Padahal sudah sangat lama.
"Ngerjain gimana?" Tanya Rafa datar. Mencoba meredakan kekesalannya.
"Habis rapat, masa gue disuruh ke ruangan kepsek, habis itu, ditutup dong pintunya. Parah sih, itu ketos."
Rafa mendadak tergelak mendengar penjelasan Reva. Seketika kekesalan tadi muncul karena gadis itu terlambat, menguap begitu saja, entah kemana.
"Malah ketawa lagi lo."
Entah kenapa kini Reva yang kesal. Bukan Rafa. Gadis itu langsung mengambil botol mineral di dalam tasnya, dan meminumnya.
"Lagian, itu ruangankan angker banget katanya. Karena jarang ditempati." Ucap Rafa.
"Jangan tanya. Lo tahu nggak pas gue didalam sana? Gila! Mendadak dingin dong, gue."
Rafa mengernyitkan dahinya. Bingung. "Bukannya beliau emang sering nyalain AC ya? Wajar dong dingin."
"Iya, sih. Tapi, masa iya itu ruangan dinginnya nggak hilang sampai sore? Beliau dari siang kan udah pulang. Khusus hari ini. Karena ada acara."
"Wah. Jangan bilang..."
Rafa menjeda kalimatnya dan menyipitkan matanya dan dibalas dengan lemparan buku tipis milik Reva yang sengaja Reva lempar karena ia kesal. Sedangkan yang menjadi korban hanya bisa tertawa puas akibat kejadian yang menimpa teman seper-zigot-annya itu.
"Gue tonjokkin aja."
"Hah?!"
Reva menatap seisi kafe yang menatap keduanya sembari meminta maaf atas keributan yang ditimbulkan oleh pekikan Rafa. Tak lama setelah itu ia melempar Rafa dengan buku yang lebih tebal.
"Sialan lo. Kalau mau teriak kira-kira dong. Malu tahu, nggak?"
"Lo aja yang keterlaluan, kok bisa lo nonjok anak orang untuk kesekian kalinya. Ketos lagi. Dipecat jadi anak buah tahu rasa lo. Nggak bisa pansos lo di OSIS."
"Ya, bisalah, Raf. Lo tahu sendiri kenapa. Lagian nggak kuat. Tonjok biasa aja. Emang gue masuk OSIS buat pansos apa? Gue tuh masuk tanpa sengaja. Tan-pa se-nga-ja. Ingat itu."
Rafa menggelengkan kepalanya. Bingung juga dengan tingkah sobat masa kecilnya itu.
"Ya, udah, deh, gue pesen dulu. Rame tadi, jadi nggak bisa pesen gue. Bisa-bisa kursi diambil kalau tadi gue pesen dulu." Ucap Rafa lalu bangkit dari duduknya.
Reva mengangguk. Ia mengeluarkan ponselnya dan memainkannya.
Reva melihat Rafa yang tengah sibuk bersenandung kecil seraya menunggu antrian. Meskipun tak terdengar oleh siapapun, sebagai teman sejak masa kecil, tentu saja ia tahu dengan kebiasaan Rafa itu.
"Bosen ya lo?" Tanyanya setelah Rafa meletakkan sebuah nampan berisi pesanan mereka dan meletakkan pesanan masing-masing.
"Nah, itu, tahu. Gue paling anti kalau misalnya disuruh antre panjang begitu."
"Hmm, gitu." Jawab Reva sembari mengangguk. "Kenapa mau kalau gitu? Padahal lo bisa nolak." Tanyanya lagi.
Rafa menghentikan aktivitasnya dan menatap Reva yang sedang menaik-turunkan alisnya.
Rafa tertawa kecil. "Kenapa gitu ya? Nggak ngerti juga. Udah kebiasaan kali ya?"
"Yee, apaan?" Ucap Reva seraya menarik chocolate lava yang dipesan Rafa. "Kok lo tahu gue mau ini?"
"Lo kan cinta coklat." Balas Rafa yang menunjuk Reva dengan garpunya.
"Terus, lo kenapa ikutan?"
"Penasaran. Apa sih yang bikin cewek di hadapan gue ini cinta banget sama coklat?"
Reva hanya menggeleng. Hebat sekali Rafa, pikirnya.
"Terus lo pesenin gue nasi goreng sedangkan lo? Cuma salad? Anda bercanda?"
Rafa mengangguk dan melahap pesanannya yang sama dengan Reva. "Gue diet." Ujarnya. Dua kata itu sukses membuat Reva hanya terdiam menatap Rafa.
"Gila. Berasa gagal gue jadi cewek." Gumam Reva setelah terdiam beberapa detik.
Rafa tertawa kecil sembari memperhatikan wajah kesal Reva yang tercetak jelas.
"Ya, gimana? Lo tahu, kan, gue nggak boleh gemuk?"
Rafa mulai menyantap Salad pesanannya setelah tadi menghabiskan Chocolate Lava nya.
"Tapi, lo makan coklat gini, sama aja gagal." Protes Reva.
"Kan kalorinya belum maksimal terpenuhi." Balas Rafa enteng.
Reva menghela nafas. Soal ini, dia sudah kalah dengan Rafa. Lelaki itu memang sangat memperhitungkan kalori yang ia terima ketika makan. Mungkin lain kali ia akan berguru pada Lidya, agar bisa menjaga berat badan seperti Rafa.
"Gue kayaknya mau bahas sesuatu deh sama lo." Ujar Reva setelah terdiam beberapa menit.
Gadis itu menarik piring berisi nasi goreng. Ia membelah telur setengah matang yang berada di atas nasi goreng dengan garpu.
"Mau bahas apaan?" Tanya Rafa bingung. Tak biasanya anak itu membahas sesuatu yang serius.
"Menurut lo, gimana soal cinta yang nggak harus memiliki?"
Rafa terbahak. "Lo bercanda?"
Reva memukul pelan lengan Rafa. "Serius. Makanya lo juga harus serius kalau temen lo ini serius."
Rafa berusaha menghentikan tawanya. "Iya, serius, nih, serius. Lagian serius amat, kayak mau nikahan aja."
"Jadi, gimana?"
"Hmm." Rafa memandang ke langit-langit kafe itu. Berpikir sejenak. "Kalau nggak harus memiliki kenapa harus mencintai? Cinta tapi memiliki aja belum tentu happy ending apalagi nggak memiliki."
Reva mengangguk. Menyetujui perkataan Rafa.
"Tapi, kan, kita tetep bahagia kalau lihat mereka bahagia." Ucap Reva lagi.
"Tetep, kalau mereka sakit? Apa kita nggak ikut sakit?"
"Iya, juga sih."
"Pembahasan ini tuh nggak bisa dibahas, terlalu kompleks. Susah ketemu ujungnya kayak apa."