Rafa merapikan jaket denim yang membalut tubuhnya. Diambilnya parfum yang dibeli oleh Lidya tahun kemarin sebagai hadiah ulang tahun, lalu disemprotkan pada tubuhnya. Tidak sopan rasanya kalau ia sedang berjalan lalu ada orang yang mencium bau tidak enak.
Setelah dirasa sudah cukup. Ia langsung keluar dari kamar.
"Mau kemana, Raf?" Tanya Vino yang baru saja keluar dari kamar yang berada di depan kamar Rafa. Bingung juga kenapa adiknya begitu rapi.
"Mau pergi, Kak. Bareng Reva."
"Ciee. Nge-date nggak tuh? Haha."
Rafa menghela nafasnya. Mulut sembarangan, batinnya. Ingin sekali menjitak sang Kakak. Coba saja ia tak ingat dosa, sudah dijitaknya Vino hingga puas. Kalau bisa benjol seperti anime yang ia tonton.
Vino merangkul bahu Rafa. Keduanya berjalan menuju lantai pertama yang sudah tercium bau masakan.
"Wuih, Reihan masak apa tuh?" Tanya Vino. Didekatinya Reihan yang tengah sibuk dengan panci.
"Nasi goreng, Kak." Jawab Reihan.
Reihan membalik badannya dan meletakkan satu mangkuk nasi goreng untuk porsi dua orang. Ia sangat yakin Vino akan memintanya.
"Abang mau kemana?" Tanya Reihan pada Rafa yang masih dirangkul oleh Vino. Tumben, pikirnya. Karena Rafa paling malas keluar malam. Apalagi malam minggu yang notabene sangat ramai biasanya.
"Mau pacaran sama Kakak tercinta kamu. Ini daritadi dirangkul mulu." Ujar Rafa sembari memandangi wajah samping Vino.
Vino yang merasa dibicarakan, langsung memandang Rafa. Dicernanya perkataan Rafa barusan. Setelah paham, dilepasnya rangkulan itu dengan cepat.
"Eh, buset, amit-amit. Kakak masih normal ya, Raf. Tolong itu mulut filter dikitlah. Kopi aja ada filter." Ujarnya seraya mengetuk meja makan dan kepalanya secara bergantian.
Reihan dan Rafa tertawa melihat reaksi berlebihan dari Vino. Lelaki itu meski kaku di depan orang lain, di depan keluarganya, ia benar-benar seperti orang yang tak punya beban hidup.
"Kakak mau kemana?" Tanya Rafa. Bingung juga melihat tampilan agak rapi dari Vino.
"Makanlah. Jomblo gini."
"Halah. Paling punya tapi diem-diem. Kayak Kak Dinda dulu." Celetuk Reihan sembari meletakkan panci ke tempat cuci piring.
"Nggak ya, yang lama jangan dibahas." Balas Vino tak terima saat mantannya dibicarakan. "Udah, sana kamu." Usir Vino sembari menendang pelan kaki Rafa.
"Dih, malah ngusir." Jawab Rafa. Tak terima dengan tendangan Vino. Dipukulnya lengan Vino. Pelan, tak terasa. Seperti Vino menendang kakinya.
Keduanya memang sering sekali begitu. Saling pukul atau tendang satu sama lain tapi tak pernah terasa sakitnya. KDRT secara halus kata Reihan.
Rafa menggelengkan kepalanya. Meninggalkan dapur. Sekarang ia malah bingung. Bingung dengan Vino yang image keren dan kalemnya luntur seketika seperti angin lewat ketika bersama dengan dirinya dan Reihan.
"Ada-ada aja emang tuh, Kakak." Monolognya.
Dikeluarkannya ponsel dari saku celana untuk memainkan game. Bosan juga jika harus menunggu Reva yang menggambar alis saja butuh setengah jam. Dan itu hanya untuk satu alis!
Coba bayangkan, jika alisnya dua. Maka, butuh satu jam. Yang membuat lama adalah kadang alis itu ketebalan, kurang rapi, bahkan, melenceng dari batas seharusnya, yang membuatnya harus mengulang lagi.
Ia bisa saja menghampiri Reva. Menemani gadis itu make up sembari mengobrol tentang banyak hal. Tapi, kejadian bulan lalu cukup membuatnya trauma. Ia tak sengaja menyenggol Reva dan menyebabkan alis gadis itu tercoret hingga bagian yang tak diinginkan. Hal itu juga yang membuatnya sukses di diamkan oleh Reva selama berhari-hari.
"Tumben rapi, Raf," Ucap Vian, sang ayah yang baru saja keluar dari rumahnya sembari melipat lengan kemeja putihnya.
"Diajak jalan sama Reva, Pi." Balas Rafa lalu mematikan ponselnya. Menghentikan permainannya karena merasa tak sopan.
"Bagus dong. Biar nggak suntuk di rumah kamunya. Belajar mulu soalnya, kan?"
Rafa mengangguk. Membenarkan perkataan ayahnya. Siapa yang tak suntuk jika belajar terus? Rasanya lebih baik keliling dunia dengan syarat tidak boleh terhubung dengan sosial media ketimbang harus memandangi buku penuh rumus setiap hari.
"Mau kemana emang?" Tanya Vian lagi.
"Hmm, kayaknya dia mau hunting foto deh. Udah lama juga kayaknya Reva nggak hunting foto pas malem gitu. Atau jalan-jalan doang mungkin. Nggak tahu juga. Bentar lagi kan UAS." Jawab Rafa.
Vian mengangguk mengerti. "Ya, udah, hati-hati."
Rafa mengangguk paham.
"Pi, Mami udah nih." Lidya menampakkan diri dari dalam. "Loh? Kamu mau kemana? Rapi banget, tumben." Ucap Lidya bingung melihat anaknya yang sudah rapi. Biasanya paling males kalau keluar.
"Mau-"
"Mau kencan dia sama Reva." Potong Vian cepat.
"Papi jangan fitnah deh." Balas Rafa malas.
"Nggak, tuh. Kan bener. Malam minggu lagi. Apa coba yang biasa dilakuin cewek sama cowok kalau malming? Jalan, kan? Date dong berarti?"
Rafa memutar bola matanya malas setelah mendengar penjelasan sang ayah.
"Ya, bagus. Kalau bisa nggak usah balik sekalian. Ayo, Pi. Keburu telat." Ucap Lidya.
Rafa terdiam dengan mulut sedikit terbuka dan mengerjapkan matanya beberapa kali. Kaget dengan ucapan sang ibu.
Orang tua macam apa ini, batin Rafa.
Lagi-lagi kedua orang tuanya hanya mampu membuat Rafa mengelus dada.
"Mau kemana kalian?" Tanya Rafa pada Vian dan Lidya yang berjalan menuju mobil.
"Pesta dong. Anak muda, biasalah." Jawab Lidya lalu terkekeh.
Lidya dan Vian memasuki mobil mereka dan pergi dari sana.
"Anak muda katanya." Gumam Rafa setelah mereka pergi. "Awas aja kalau encok ntar balik. Ada-ada aja."
Ponselnya bergetar dan memperlihatkan pesan yang berasal dari Reva. Memintanya untuk ke rumahnya.
"Reihan, Abang pamit." Ucapnya pada Reihan yang berada di dalam rumah.
"Ya! Hati-hati!" Teriak Reihan yang tengah memasak di dapur.
Ia tertawa sembari menutup pintu, ia yakin sekarang Vino tengah mengomel tak jelas karena ia tak berpamitan dengan lelaki itu. Dinaikinya motor Yamaha milik Vino. Karena ia yakin lelaki itu tak akan menggunakannya malam ini.
"Lama amat." Ucapnya pada Reva yang sejak tadi sudah berdiri di pinggir jalan dengan mata yang masih menatap ponselnya.
"Sambat terus."
"Gimana nggak sambat kalau lo dandan doang lama."
"Latihan. Ntar kalau punya cewek lo bakal bisa sabar."
Rafa memutar bola matanya malas. Mana ada latihan sabar seperti ini.
Rafa memakaikan helm pada Reva. "Ayo." Ucapnya setelah selesai.
Reva menaiki motornya. Lalu mengeluarkan ponselnya untuk memutar lagu.
"Kemana?" Tanya Rafa.
"Alun-alun aja kayaknya."
Rafa mengangguk.
Malam itu cukup ramai, keduanya bahkan harus rela terjebak macet sebentar. Salah juga keluar di saat malam minggu seperti ini.
"Ramai, cuy." Ucap Rafa ketika ia memarkirkan motornya.
"Semoga motor nggak ketuker ya, Raf."
"Nggak bakalan." Tangannya menjulur. Meminta helm pada Reva. "Helmnya gue titip sama temen gue dulu."
"Kok titip?" Tanya Reva bingung seraya memberikan helm pada Rafa.
"Nanti hilang, Re. Lo nggak lihat ramainya?"
Jika dilihat-lihat parkiran terlihat cukup ramai. Tidak tahu kalau sudah masuk ke area lapangan.
Rafa mengambil helm dari tangan Reva.
"Ya, udah, deh."
Rafa membawa dua helm dengan satu tangannya. Sedangkan tangan satu lagi ia gunakan untuk menggandeng tangan Reva. Seakan takut gadis itu menghilang.
"Mas." Panggil Rafa pada seorang pedagang sate.
"Eh, Rafa, udah lama nggak kesini."