Matanya berkedut, berangsur terbuka. Sekitarnya hanya putih. Tembok putih, lantai putih, bahkan setelan putih polos. Aneh, ini bukan kamar Vinear. Kenapa dia ada di sini?
Hanya ada dirinya dan sebuah pintu putih dilengkapi kunci pintu digital. Secarik kertas berisi pertanyaan semacam teka-teki merekat pada daun pintu. Vinear membacanya saksama, mungkin saja ia mendapat jawaban kenapa berada di sana.
Ada berapa banyak seni di dunia?
Vinear mengernyit tidak mengerti. Apa-apaan pertanyaan konyol ini? Sebenarnya dia ada di mana? Lalu siapa orang kurang kerjaan yang melakukan semua ini? Yang pasti dia harus bisa menjawabnya.
"Berapa ya? Gak pernah belajar sampe sini. Coba dari angka satu deh," ucapnya bermonolog.
Vinear terus mencoba satu per satu angka. Sampai akhirnya ia membenturkan kepalanya sendiri pada pintu. Tindakannya sia-sia. Sampai kapan dia mendekam di sini? Yang ada hanya membuat mental rusak.
Untuk menenangkan emosinya yang terlanjur menggebu-gebu, Vinear merebahkan diri dalam posisi terlentang. Lampu menggantung pada langit-langit mewarnai bulu mata lentiknya. Berdiam diri, berharap dengan melamun jawaban akan datang.
"Seni itu tidak terbatas, kan? Seni rupa aja jangkauannya luas, apalagi kalo semua seni." Setelah berbicara sendiri, Vinear menyadari sesuatu.
Angka 999, angka terbanyak. Dulu Vinear menganggapnya sebagai simbol infinity. Tak disangka, ternyata itu berlaku di tempat ini. Jawabannya benar, pintu terbuka.
***
Yulvin bergidik begitu sadar tempatnya berada. Ruangan serba putih. Alarm tanda bahaya di otaknya berbunyi. Pandangan ngeri dilontarkan pada satu-satunya pintu di sana— mengerikan, seakan diselimuti sihir gelap.
AKU DIISOLASI?! Terus di pintu itu isinya ... pembunuh?!
Pikirannya sudah melayang ke mana-mana, condong ke arah negatif. Yulvin menggigit ibu jarinya, meringkuk di pojokan banjir air mata. Seisi ruangan penuh dengan suara sesenggukan yang ditahan oleh telapak tangannya sendiri.
Yulvin melirik pintu putih dengan pandangan nanar. Akibat terlalu panik, gadis itu baru menyadari ada alat pengukur detak jantung menempel pada gagang pintu.
Pada mulanya Yulvin mengira itu untuk memotong jarinya jika berani mengotak-atik pintu. Tapi dari tampilannya lebih mirip pengukur detak jantung melalui jari tangan.
Dengan langkah tertatih-tatih Yulvin mendekati pintu. Satu kertas berisi sebaris kata yang mungkin menjadi petunjuk jalan keluarnya. Yulvin yang keburu panik tidak bisa membaca dengan baik, seolah lupa cara membaca.
"Ini ... te ... ka-teki, jadi ... tenang ... lah," lirihnya mencoba melafalkan apa yang tertera pada kertas itu.
Yulvin tidak mengerti, apakah segala kegundahan ini akan selesai jika dia tenang? Lalu apakah di balik pintu ini ada pembunuh? Pembunuh itu ingin bermain-main dulu sebelum menjagalnya?
Sekujur tubuhnya gemetaran hanya dengan memikirkannya. Mulutnya komat-kamit merapal doa agar dosanya yang menumpuk bagai gunung sedikit menyusut. Jantungnya bertalu-talu mengacau kinerja organ-organnya.
Kesadarannya berangsur membaik. Yulvin memaksakan kepala berpikir meski tak ingin. Mencoba mengatakan baik-baik saja, walau harapan itu malah menjadi kebohongan.
Mungkin saja sebenarnya alat yang menyantol itu kuncinya. Dengan gerakan ragu, gadis itu memasukkan telunjuknya ke dalam berurai air mata. Akan tetapi tak dapat dimungkiri bahwa pikiran buruk terus menyambanginya.
Tidak terjadi apa-apa. Pintu tak terbuka, jarinya setidaknya masih utuh. Yulvin menarik napas dalam, terus berulang sampai isakannya tak terdengar lagi. Sesekali tangannya yang bebas melinting rambutnya dengan risau demi membantu menetralisir rasa cemas berlebihnya. Detak jantung kembali normal. Pintu terbuka, Yulvin berhasil, walaupun pikiran negatif masih menggelayuti di tiap langkah.
***
"SIALAN!"
Jenoel membanting kakinya pada pintu berupaya menghancurkannya. Hasilnya nihil, pintu itu terlalu keras. Bahkan malah kaki Jenoel yang terkena imbasnya.
Raut wajah penuh amarah berhiaskan peluh sekitar kening. Rambut hitamnya sampai berantakan. Seisi ruang hanya ada deru napas dan makiannya. Air mata menggenangi pelupuk matanya. Tak peduli seberapa kuat menarik napas dan sekeras apa menahannya.
Tenaganya lama-lama terkuras. Jenoel menyandarkan kepala, perlahan punggungnya menuruni tembok. Ia duduk seraya merenung dan merasakan tubuhnya. Rasa sakit menjalar di tangan dan kakinya, semuanya terlukis jelas di kulitnya yang memerah. Itu tak sebanding dengan ingatan buruk yang mencuat kembali setelah susah payah dikubur dalam relung hati.
Jika dia hanya marah-marah tanpa berusaha keluar, tidak akan terjadi apa-apa. Mungkin ada seseorang mengurungnya, mempermainkan dirinya dengan mengharuskan menjawab teka-teki konyol. Jelasnya orang itu sangat dekat dengannya, setidaknya keluarga atau teman masa kecil.
Siapa Noel?
Pertanyaan singkat, namun berhasil mendidihkan kepalanya. Jenoel tau apa jawabannya— tapi enggan menjawab walau hanya perlu mengetik satu angka. Bahkan hanya mengingat saja kerongkongannya terasa panas.
Yang paling membuatnya muak adalah si orang misterius ini nampaknya mengenal betul seluk-beluk tentang dirinya. Tapi siapa? Jenoel tidak ingin memikirkannya dulu, dia harus keluar dari tempat ini— itu perkara nanti saja.