Vinear melangkah pelan-pelan, sembari memasang kuda-kuda— bersiap jika ada serangan kejutan. Saat ini dirinya tengah berada di lorong temaram, lampunya sesekali meredup. Lalu akhirnya sampai pada ujungnya, sebuah pintu hitam. Dengan ragu Vinear mendorongnya.
Vinear mengerjap dua kali. Nampak pemandangan mirip ruang tamu terhampar di hadapannya. Tidak ada tanda-tanda kejahatan.
"Hm? Ruang tamu kah?" Vinear melepas kuda-kudanya, berdiri lebih santai seraya menyelisik seisi ruang.
Ruangan ini berbentuk seperti tabung, sekelilingnya terdapat enam pintu yang persis dengannya dan juga satu pintu besar terbuat dari baja. Tengah ruangan terdapat karpet bundar campuran kuning dan merah dikelilingi bangku-bangku putih. Ruangan kali ini lebih berwarna, lantainya terbuat dari kayu, temboknya masih putih namun dihiasi beberapa lukisan abstrak berbingkai cantik.
"Oh, beneran ada orang laen."
Terdengar suara dari arah samping. Vinear spontan menoleh. Seorang lelaki jangkung menjulang di sampingnya, wajahnya dingin dengan kacamata bertengger di hidungnya. Sontak saja Vinear terlonjak kaget lantaran baru menyadari keberadaannya yang hawanya terasa tipis.
"Si-siapa?!"
"Jeno. Gak usah kaget, dasar norak. Baca aja poster di pintu." Pria itu menunjuk pintu besar yang ternyata terdapat kertas besar menempel. Tatapannya yang arogan dan tajam, berhasil menghipnotis Vinear menurutinya tanpa bantahan.
Vinear membacanya dengan saksama, tak ketinggalan satu kata pun. Daripada poster ini lebih layak disebut kertas pengumuman. Mungkin Jenoel menyebutnya poster karena ada gambar imut berbentuk kucing mungil di ujung bawah kanan.
Halo! Selamat datang di game teka-teki kami! Di ruangan ini belum ada kamera pemantaunya, lalu ini juga bukan acara reality show. Masih ada beberapa ruangan dengan berbagai teka-teki untuk kalian lewati. Untuk melewati ruangan kali ini, Anda sekalian silakan duduk di kursi yang sudah disiapkan jika sudah berenam. Good luck! Jangan terpisah dari kawan.
"Jadi ini kayak game teka-teki? Ada 6 orang di sini, dan kita harus nunggu biar bisa buka pintunya kah?" tanya Vinear menyimpulkan sekalian memastikan.
"Udah baca jelas pake nanya, lemot," balasnya sinis. Vinear menanggapinya dengan senyum kecut penuh paksaan.
Astaga, galak banget, batinnya berkomentar seraya menghela napas berat.
"Kenapa?! Gak suka?" sengitnya menjeling tajam, membuat kesabaran Vinear menguap.
"Kamu darita—"
"Permisi, saya ingin keluar dari acara tidak berguna ini!" Sebuah dobrakan pintu disusul suara nyaring melengking menginterupsi, membatalkan emosi Vinear yang meluap-luap. Itu Siska, berkacak pinggang secara simetris dengan wajah pongah. "Tunggu, cuman 2? Ini acara apaan sih? Udahlah pokokny—"
"Berisik!" hardik Jenoel mengentak keras.
"Baca aja di sana buat kejelasan," jelas Vinear, ogah menatap Jenoel maupun Siska. Hanya tangannya menunjuk pintu besar itu, walau salah arah.
"Tch, salah arah, bego," kritiknya pedas, namun tak dihiraukan Vinear.
Dengan langkah teratur bak model, Siska sampai di depan pintu itu. Membaca dengan teliti, menelaah semuanya. Siska masih tidak percaya, ini pasti pembodohan. Tapi dia tidak ada bukti kuat untuk menyimpulkan sesuatu, mau tidak mau semua hal bodoh ini harus diikuti.
"Cih, sok ngartis," gerutu Jenoel membuat Siska melirik garang.
"Apa?! Anda baru saja menghina saya?" Siska menoleh lantaran merasa tersinggung.
"Iya. Itu fakta, 'kan?" Jenoel mengangkat dagu, menyeringai beringas.
"Berhenti. Daritadi kamu ngomong yang nggak-nggak terus!" sergah Vinear ketika Siska hendak membalas lagi.
"Berisik!" bentaknya jauh lebih galak dibanding sebelumnya. Vinear sempat terlonjak. Jenoel adalah orang pertama selain keluarganya yang membentak hingga membuat Vinear ingin menangis. Matanya berkaca-kaca, itu tak bisa dihindari.
"Permisi." Dua suara berbunyi di waktu sama memecah suasana panas. Yang satu lantang, satu lagi mencicit. Mereka bertiga yang menoleh serempak ke arah Alex dan Yulvin yang keluar dari pintu bersebelahan.
Yulvin gelagapan, matanya tidak sengaja menubruk Jenoel. Menakutkan, itu kesan pertamanya. Yulvin yakin dia adalah pembunuhnya. Nyatanya, tidak ada pembunuh di sana. Sebaliknya, Alex tampak sangat tenang— berusaha memahami atmosfer ini.
Aneh. Mereka senasib? Di sini gak ada kamera, mungkin memang senasib, atau mereka kameranya? Alex mengamati Jenoel, Vinear, dan Siska dengan tatapan yang terlihat mengintimidas— walau nyatanya tidak, itu hanya efek dari kantung mata hitamnya serta pandangan fokusnya.
Jenoel salah mengambil paham. Dia mengira Alex tengah berusaha membuatnya ciut dengan menatap tajam ke arahnya.
Alex memincing mata, menangkap kertas tertempel di pintu. Mungkin itu petunjuk, sama seperti di ruangan sebelumnya. Ia hendak mendekatinya. Namun tepat ketika sudah di samping Jenoel, dirinya dihadang. Tangan kanan Jenoel menarik kerah kaosnya. Sejenak ia tergemap dihadiahi serangan dadakan.
"Lo lagi mau ngancem gue?" tuduhnya berang. Terpantul dari netranya yang berkilat merah. Tangan kirinya mengambang tinggi bersiap ingin memukul Alex.
"Oh, maaf kalo bikin takut. mata gue em—" Alex mencoba menjelaskan dengan tenang, walau tak dapat dimungkiri jantungnya yang lemah bertalu-talu meminta keluar.
"Gak usah ngelak!"