Let's Play Puzzle

Zen Gin
Chapter #4

Part 3 - Pasir

"Pasir? Cuih, kalian budget-nya gede banget ya, dasar orang-orang berduit," cerocos Fredinia menyulut amarah. Berlagak sedang meludah— nyatanya tidak ada yang meluncur keluar selain ucapan sarkas.

Sumbunya terbakar. Aura merah kelam mencekam menguar tajam. Lirikan Jenoel direspons cepat layaknya binatang buas. Fredinia mendelik dengan satu alis tebal terangkat. Komunikasi pedas terjalin dari mata ke mata. Selang berapa lama kemudian keduanya saling memalingkan wajah serempak.

Ruangan kali ini sedikit aneh. Lantai berpasir, tembok dan lantai bercat biru laut, serta pintu besar dengan model yang sama seperti sebelumnya— namun di sampingnya terdapat lubang besar. Nuansa pantai begitu pekat. Di pojok ruangan teronggok enam buah sekop berjajar rapi. Pintu penghantarnya jika ditilik lebih lanjut pun tidak memiliki gagang pintu.

"Udah, jangan bera—"

"Daritadi ini sampah ngoceh mulu. Gak ada kualitas," cibir Jenoel memotong kalimat Vinear yang hendak menenangkan dua serigala— padahal sebelumnya tidak mengutarakan sepatah kata pun.

"Jeno, Fredinia, ud—"

"Hah? Emang lo ada gunanya di sini?! Dasar penipu amatir," balas Fredinia tak mau kalah. Wanita itu tanpa ragu memelototi Jenoel dari dekat.

"Daripada lo, udah bego, gak guna, hidup lagi. Sampe kapan sih otak butut lo mikir jelek mulu? Sekarang malah jadi beban tukang sebar omelan," cerca Jenoel

Jenoel menoyor kepala Fredinia kasar— tanpa ragu meski jelas-jelas sedang berhadapan dengan perempuan. Untungnya tenaga yang digunakan tidak begitu parah sampai menimbulkan luka.

"Berisik. Bicara kok tidak teratur, kayak binatang ternak saja," komentar Siska menginterupsi sebelum Fredinia hendak membalas lagi. Punggungnya bersandar secara tegak lurus dengan dinding. Tidak enak. Masa bodo, prioritasnya kerapian bukan kenyamanan.

Aku capek, pasrah Vinear yang sedari tadi diserobot terus ucapannya. Senyuman hampa merekah— sebuah tanda kejengahan. Ingin marah, mengamuk sejadi-jadinya. Namun Vinear kapok karena berpengalaman hampir menjadi landasan tonjokan Jenoel.

Suara desahan Alex berhasil meraih telinga Vinear berhasil menarik atensinya. Di tengah keributan ini, hanya gadis itu yang menyadari tumpahan emosi seseorang berambut cokelat gelap nan awut-awutan. Hanya Alex yang masih berdiri mematung di ambang pintu.

Air muka Alex tertutupi poni panjangnya, ditambah pria itu menunduk. Hanya satu yang pasti, sejak tadi ia tak henti-hentinya mengambil napas panjang seakan segera kehilangan nyawa. Hanya melihat sekilas saja Vinear sudah tau ada yang salah. Rasa penasaran bercampur khawatir membawa Vinear ke hadapan Alex.

"Alex, kamu kenapa?" tanya Vinear khawatir melihat keringat bercucuran membanjiri pelipis dan tangan yang ditanyai. Hatinya sedikit tergores lantaran tidak digubris sama sekali. Daripada nelangsa, hanya ada kengerian di dalam dirinya.

Saat di dekat robot rusak yang menebar sengatan listrik, tidak ada yang berani mendekati. Tapi mau tidak mau harus didekati untuk diperbaiki. Itu lah bagaimana menggambarkan kondisi terkini.

Vinear sensitif dengan aura dan emosi orang, terutama yang menekan. Gelagat Alex memberi pesan gamblang ia tak ingin didekati, tapi di saat yang sama membutuhkan seseorang.

"Alex?" Kali ini Vinear memberanikan diri menepuk bahu Alex pelan.

Alex langsung bereaksi spontan sesuai naluri, menampik kasar tangan Vinear yang bercokol di bahunya. Saking kerasnya sampai-sampai keributan yang dilahirkan Fredinia dan Jenoel terkubur begitu saja. Terkesiap. Tidak hanya Vinear yang terperangah dengan aksi di luar dugaan Alex, sang pelaku dan orang sekitarnya ikutan melongo.

Lingkaran hitam legam Alex sekilas tampak jauh lebih gelap dibanding tatapan fokusnya yang membuat merinding. Hanya sekejap pandang saja bulu roma Vinear sudah meremang. Dalam sedetik Vinear menerima pesan gelap Alex yang memakinya.

Ada yang janggal. Mata dan hidung Alex memerah. Tersisa bekas air di wilayah pipinya. Lendir bening mencuat malu-malu dari lubang hidung kirinya nan mancung dan menggilang bak habis disemir. Bibir kering Alex bergetar.

"Maaf, gue cuman kaget," kilahnya berbalik badan seraya menggosokan lengan di baris mata, menyeka air mata.

"Oh, gitu ya. Maaf he he, kukira kamu punya asma."

Sakit. Vinear mengibaskan tangannya. Alih-alih untuk mengatakan baik-baik saja, malah itu mencermin betapa panas tangannya.

"Anda menangis ya? Hmph, Anda sudah gagal sebagai laki-laki," ejek Siska arogan.

"Gue kelilipan," sanggah Alex tidak berniat menanggapi terlalu serius ucapan Siska.

"Udah dong, ayo akrab!" Vinear tersenyum kecut ke arah bergantian, berusaha meredakan situasi yang meradang.

"Berisik. Kita di sini bukan sebagai teman, tapi kolega. Kerja sama boleh, tapi jangan harap bisa dekati saya kurang dari satu meter, kalian bisa saya laporin," ancam Siska memindai sinis.

"Tapi kalo ribut terus kerja samanya gak bakal lancar. Alex pasti setuju, 'kan?" Vinear menoleh pada Alex mengharapkan setidaknya dibalas satu anggukan kecil.

"Itu ...." Sebelum melanjutkan, Alex berusaha menelaah keadaan yang ada. Awalnya Alex ingin menjawab setuju, jujur mengakui apa yang tersimpan di benaknya. Tapi dia mengerti keadaan saat ini. Lagi-lagi Alex harus berbohong— rasanya sangat begitu ternodai. Dia mengangguk pelan. "Setuju kok."

Tingkat kecerahan wajah Vinear melonjak naik. Tatapan intens melesat pada Siska. Gadis itu masih saja memandang rendah dua insan memuakkan di hadapannya. Tidak, baginya semua orang adalah serangga bebal merepotkan.

"Cih, terserah. Saya ogah ikutan main teman-temanan kalian," decihnya lalu melengos pergi mendekati pintu secara teratur seperti biasa.

"Siapa juga yang main temen-temenan, baka. Kalian kan semuanya penipu," celoteh Fredinia, bersandar di sebelah Siska. Satu sudut bibir yang terangat mengisyaratkan adanya ejekan. Orang yang bersangkutan mendecih kasar, pergi menuju pintu penuh kekesalan.

"Kamu wibu?" Vinear menoleh antusias.

"Iya. Kenapa? Gak suka?" Fredinia semakin sensitif. Gagal menangkap gelora terselubung dan mengartikan bahwa binar-binar di mata Vinear adalah tanda mencemooh.

"Kita sama!" seru Vinear kegirangan. Berlompat bahagia, bersorak-sorak layaknya anak kecil mendapat satu kertas uang merah bernilai tinggi.

"Eh? Lo juga?" Mimik muka Fredinia berubah drastis. Ia langsung berseri-seri, semua kerutan pergi dari wajahnya.

"iya!" Vinear mengangguk semangat. Senyum lebar tak kunjung luntur dari ukiran wajahnya.

"Woaah, lo tau anime yang ke isekai gara-gara syok gak?"

"Tau, tau!"

Selagi keduanya asyik berbincang, ekistensi Jenoel tak begitu berarti. Ia hanya melihat gusar pemandangan di hadapannya. Takdir mempersatukan dua sejoli itu dengan unik.

Jenoel mengesampingkan hal sepele itu. Ada yang lebih penting. Pandangannya jatuh kepada Alex yang tengah berdiam diri memeluk lutut. Padahal sekali lihat pria itu jelas kelelahan, tidak ada kerjaan, jika Jenoel ada di posisinya pasti kesempatan ini akan dipakai untuk tidur atau setidaknya berbaring melepas penat. Memang licik memanfaatkannya di saat semua orang bekerja. Tapi toh, percuma juga bekerja saat raga meminta diistirahatkan.

"Panda, lo masih kuat, 'kan?" Jenoel mengangkat sedikit dagunya agar terlihat garang. Bukannya merasa takut, Alex mengernyit merasa tersinggung dengan julukan yang diberikan Jenoel.

"Panda?" beo Alex.

"Iya, kenapa? Gak suka?! Lagian gue lupa nama lo, maklum dong." Jenoel mengerenyot enteng. Senyuman menyebalkan terpampang di wajah lonjong Jenoel. Sembari bertolak pinggang, lelaki jangkung itu menyengetkan tubuh bermaksud meremehkan.

"Gue Alex. Sekarang udah tau, 'kan? Dan gue sanggup mikir," sengitnya tajam lalu memalingkan wajah.

"Oh ya?" tantang Jenoel menyeringai.

Dalam lubuk hati Jenoel, masih tersimpan sejumput dendam. Walaupun dia tau itu hanya salah paham, jika diingat kembali malu rasanya.

Alex mendengus. Beringsut berdiri. Sebisa mungkin pertengkaran tidak berguna ini dihindarinya.

"Kayaknya kita disuruh masukin semua pasir ke dalem lubang," ucap Siska sekonyong-konyong. "Di sini cuman ditulis 'masukkan jenis-jenis yang banyak'. Pasti yang dimaksud itu pasir karena ada banyak."

Jenoel menoleh. Yang didengar barusan terlalu gila untuk ditelan mentah-mentah. Pasir yang luasnya berkisar enam ratus dua puluh lima meter persegi itu harus dipindahkan? Kedalamannya saja tidak diketahui.

"Cepet ikutin kata saya. Kan tadi liat sendiri, semua teka-teki di sini sangat gila! Anda masih berpikir pendek ya? Untuk apa mereka pakai lantai berpasir kalau bukan untuk ini?!" sergah Siska mewanti-wanti.

"Ya udahlah." Jenoel berpaling ke Alex. "Oi, lo kuat kan?"

Lihat selengkapnya