Mengulur waktu pun keajaiban mustahil datang. Satu-satunya yang dilakukan Alex adalah meraup udara hingga paru-parunya terbebani. Semakin banyak aliran udara, linangan air mata kian membanjir.
Terjebak dalam dilema penggenggam hati. Alex bertekad bertahan hidup. Menjadi kuat adalah kuncinya. Dengan begitu tak ada lagi yang lancang menyeretnya membawa nyawa. Kelebihan tersisa dalam dirinya hanya lah otak kecil itu. Di satu sisi lagi pria itu tidak mau menyentuh pemicu masa lalu mengerikan itu, pasir dan tidur.
Pusing. Kepala Alex serasa berputar-putar seakan kepala sudah lepas dari leher jenjangnya. Alex sempat berpikir otaknya ditanami bom. Bukan tanpa alasan, sejak tadi denyutan parah ini ingin menggerogotinya.
Alex meringis, menjauhkan wajah dari lubang. Karena sakit kepala tak tertahankan, Alex mencengkeram wajah sendiri. Kuku-kuku tajamnya hampir menembus kulit kepala. Ingin terluka akibat ulahnya atau tidak, Alex tidak bisa merasakan syarafnya. Rasa sakit yang mengorbit di kepala terlalu besar.
Sementara itu, Jenoel dan empat sekawan menunggu lama. Jenoel bersedekap, ketukan kakinya semakin mempercepat irama. Tak satu pun tau alasan Alex tak kunjung datang. Semuanya larut dalam pikiran masing-masing, memperkirakan mengapa Alex tak kunjung menampakkan diri— kecuali Fredinia yang asyik bergelut di pasir.
"Itu makhluk ke mana sih? Lama amat." Jenoel melongok ke lubang. Tidak ada apa-apa, kosong melompong. Langkah hati-hatinya membawa Jenoel ke hadapan Vinear.
"Belum juga setengah jam. Nungguin rekan sesama penipu itu harus sabar dong," timpal Fredinia yang tengah goler-goleran manja di pasir layaknya kucing.
" Buat ke sini juga gak sampe hitungan menit kali," decak Jenoel, jengah menyaksikan sikap menjijikan Fredinia.
"Itu dia!" seru Vinear. Secepat kilat dirinya menghampiri Alex.
Alex sudah tiba. Tampangnya berantakan. Rambutnya awut-awutan. Lingkaran hitam di matanya nampak memerah.
Vinear curiga. Itu terlihat sengaja diacak-acak olehnya. Itu bukan asal firasat saja. Mata sembab, tangan tremor, dan luka samar mirip cakaran di kulit kepalanya cukup untuk dijadikan bukti.
Di atas dia ngapain aja sih?
"Alex, kamu pasti kecapekan ... jadi istirahat dulu, ya?" bujuk Vinear tak tega melihat penderitaan Alex. Tutup mata di depan orang sakit itu membuatnya ditimpuk rasa bersalah.
"Nggak ... usah. Mana ... pin ... tunya?"
"Di-di san-sana," sahut Yulvin tanpa diminta yang bersangkutan.
Tanpa basa-basi lagi, Alex berjalan menuju pintu— mengabaikan sensasi pasir yang menggelitiki kakinya. Bukan mengabaikan, tepatnya berusaha tenang. Tiap langkah mengupas luka lama.
Semakin mendekati pintu jumlah pasir berkurang. Napas lega lolos dari mulutnya. Siska berada di sana, mengamati pintu yang modelnya sama dengan sebelumnya— pintu berat dan tebal. Tapi yang sekarang ada gagang pintu. Sudah bisa dipastikan daun pintu ini bukan rekayasa.
Hanya ada timer menghitung mundur melekat di pintu. Tidak ada kertas petunjuk. Waktu yang tersisa masih agak lama, sekitar delapan jam lagi. Ia mengerti maksud ini semua. Matanya membulat sempurna. Ia dipermainkan dua kali.
Pasir bukan hanya sekadar bertujuan mengelabui mereka, tapi untuk menyiksa Alex. Sekarang delapan jam di ruang kosong dengan segunung pasir.
Sejak kegiatan memindahkan pasir selesai, Alex sudah sangat mengantuk. Mau seberat apa pun ketakutan pada tidur, Alex tetap manusia yang memiliki batas kesadaran. Tanpa kopi mustahil Alex bertahan lama. Belum lagi dia tidak sendiri. Situasi ini memaksanya bertahan.
"Mungkin pintunya akan terbuka kalau waktunya sudah abis," jelas Siska memperparah tingkat frustrasi Alex.
"Enam jam di sini? Good, gue mau bobok." Fredinia menguap seakan melepas semua beban hidupnya.
"Di pasir? Anda betah? Menjijikan." Ocehan menusuk Siska tidak digubris Fredinia sama sekali. Gadis itu keburu terlelap sebelum Siska menyelesaikan kalimatnya.
Tak berapa lama kemudian Alex menendang pintu dengan kekuatannya yang tidak seberapa. Terlukis penderitaan di wajahnya. Air mata merebak diiringi teriakan yang tersendat-sendat.
Di sini tidak ada kopi, mustahil dia bisa bertahan. Belum lagi tenaganya terkuras banyak hanya karena meladeni rasa takut yang tabu ini. Pikirannya kacau, tidak bisa memutuskan mana yang sebaiknya dilakukan.
"Jangan rusak pintunya! Woi!" sergah Jenoel menghampiri. Pria yang tenaganya delapan kali lipat lebih besar dari Alex itu melingkari kedua tangannya di kedua ketiak Alex, menahan amukan pria yang membabi buta itu.
"Percuma dirusak. Pintunya kuat. Tolong tenangkan sikap kekanakan Anda." Siska memberi peringatan tanpa ekspresi.
"Berisik!" bentak Alex mendaratkan punggung tangannya di hidung Jenoel amat keras. Ia sudah seperti orang kesetanan.
Sesaat Jenoel tertegun. Setetes darah mencuat, mengalir lamban. Vinear memasang ekspresi risau. Tangan mungil itu mengambang di udara, ragu ingin mendekat.
Mendadak tidak ada suara. Debaran jantung bahkan sampai bisa Jenoel dengar, tiap aliran darah terasa jelas menggerayangi dari dalam.
Alex terkulai lemah. Tatapan mata kosong bak mayat hidup ditambah lingkaran hitam seakan tidak mengenal tidur, menyinari bagaimana perasaan Alex. Mulutnya terbuka kecil, ingin berucap tapi tersekat di tenggorokan. Matanya yang meredup sesekali menjelaskan perjuangan Alex tetap terjaga. Hanya dari air mukanya, Vinear yakin pria itu sangat mengantuk namun enggan tidur.
Sisa-sisa air mata di kedua pipi Alex membawa Jenoel pada kegelapan. Jenoel menahan napasnya. Situasi ini tidak asing. Kelebat ingatan merah dalam merayap keluar. Jenoel menyipitkan mata, tidak ingin mengatakan atau bahkan sekadar mengingatnya.
Semuanya berakhir begitu Alex kalah. Kelopak mata berangsur merapat hingga menutup sempurna.
***
Desir laut menerpa lembut tebing nan curam. Alex menjejakkan kaki, mengikuti wanita dewasa yang berjalan di hadapannya. Surai hitam yang sama dengan miliknya melambai-lambai diterpa angin.
Langit hitam membuat Alex bergidik. Kilatan petir mengerikan sesekali menyambar. Hanya dengan melihat ke bawah saja Alex sudah kalut, tapi wanita itu tidak. Ditatapnya punggung orang yang mengajaknya ke sana. Berdiri di tebing terjal sama sekali tidak membuat wanita itu gamang.
Alex melongok ke bawah. Kakinya gemetaran memperkirakan berapa selisih tinggi dari permukaan. Biru laut mengamuk seakan tidak sabar lagi menunggunya terjun untuk dikoyak habis. Batu karang berdiri kukuh di antara amukan ombak.
"Alex," panggilnya lembut, sedikit serak. Rasa takut yang menggelayuti Alex sirna, hanyut dibawa senyuman lembut perempuan itu— sudah lama pemandangan ini tidak pernah ia liat sejak insiden kala itu. Wanita itu berbalik, menarik tubuh Alex, lalu memeluknya penuh kasih.