Vinear sengaja melepas nafsu makannya. Ibunya selalu berpesan agar jangan merusak tubuh pemberian Tuhan. Melalui warna hatinya, Vinear memohon ampun berkali-kali— kepada Tuhan, kepada sang ibu yang sudah tak lagi bernapas, dan juga kepada tubuh hasil karya kedua orangtua.
Sepasang permata hitam bergemerlap dalam gelap tanpa bintang bersinar. Jari jemari lentik dipandangi terus-menerus, Vinear tidak bisa tidur karena perih di lambungnya. Bibir mengering akibat bernapas melalui mulut— itu sudah menjadi kebiasaan Vinear di ruangan dingin. Seisi ruang dipenuhi deru napas orang-orang yang terlelap.
Mood-nya sering kacau. Rasa bersalah saja tak cukup menggerakkan hati. Begitulah remaja— sebuah masa pengiriman menuju kedewasaan.
Vinear menoleh ke belakang, menatap risau wajah teman seranjangnya. Orang itu tertidur nyenyak di saat dirinya resah satu kasur dengan lawan jenis. Vinear sebelumnya tidak terlalu mengacuhkan perbedaan gender, tapi ini pengecualian. Satu ranjang dan berteman itu berbeda.
Karena kasur yang tersedia hanya tiga, harus ada pembagian. Alex menduga tiga kasur besar bertujuan mempererat hubungan mereka, entah apa gunanya.
Hasil pembagian adalah Vinear dengan Jenoel, Siska sendiri, Yulvin dan Fredinia, lalu Alex memutuskan tidak tidur dengan alasan menjaga mereka jika nanti ada bahaya. Siska mengusulkan Vinear dipasangkan dengan Jenoel karena pria temperamental itu lebih jinak kepada Vinear.
Tiba-tiba suara keroncongan berkumandang. Wajah Vinear dicat semburat merah, malu jika terdengar. Sesekali netranya melirik ke belakang untuk memastikan tidak ada saksi.
"Sakit perut, 'kan? Mamam tuh sakitnya. Lagian pake event sok-sokan galau." Terdengar suara bisikan Jenoel di belakang Vinear.
Untuk memastikannya Vinear mencoba membalikkan badan. Padahal dari jam dinding super mewah yang terpajang sudah menunjuk pukul satu. Sudah sekitar dua jam sejak Jenoel berbaring di sebelahnya.
Oh, dia masih bang— tapi merem tuh? Ngelindur ya? Vinear kebingungan melihat Jenoel yang merapatkan kelopak mata. Suara orang mengigau seharusnya tidak sejelas itu, paling tidak seharusnya nada bicaranya seperti orang kehilangan rahang.
"Kalo mau ngomong, cepet ngomong!" ketus Jenoel. Matanya tiba-tiba membuka dan membelalak saat tau Vinear menghadap ke arahnya. Untuk menutupi debaran jantung yang bertalu-talu, Jenoel mengambil napas panjang. Setelah sedikit tenang, mulutnya mulai menuturkan sekelumit kata. "Lo ngapain ngadep ke gue?"
"Kirain kamu ngigau he he. Kan lucu aja," kekeh Vinear sedikit berbisik, takut kebisingan.
"Mana ada orang ngigau kayak tadi."
"Makanya aku mau mastiin. Tapi kamu kenapa belum tidur?"
"Gak bisa tidur."
"Kenapa?"
"Lo cewek. Mereka pada gila apa ya, maksa-maksa," gerutu Jenoel.
Mendengar keluhan Jenoel, Vinear menyunggingkan senyum. Batu permata gadis di hadapan pria itu nampak berbinar di kegelapan. Jenoel menyelami emosi gadis di depannya, hati kecilnya merasakan kemiripan Vinear dengan ibunya yang begitu bersabar menghadapi anak sekeras batu.
"Oh iya, lo laper, 'kan? Mau makan gak?" ajak Jenoel lalu melirik ke belakangnya, memastikan apakah ada yang bangun atau tidak. Situasi aman, semuanya sudah tertidur pulas. Bahkan Fredinia sampai mendengkur, mendorong Yulvin hingga teronggok di lantai. Ajaibnya Yulvin seperti terima-terima saja dilempar ke lantai.
"Tapi kamu udah makan, 'kan?" tanya Vinear sedikit menonjolkan bibir ranumnya.
"Udah. Si babi malah makan setengah jatah gue. Dan si kampret sok pinter larang gue ngambil, katanya takut itu penting buat perbekalan."
"Kalo gitu kamu aja yang makan." Vinear tersenyum tulus, seperti seorang ibu yang merelakan makanan terakhirnya untuk anak tercinta.
Timbul kerutan di dahi Jenoel. Jenoel menggamitkan tangan Vinear, seperti pahlawan sekarat yang akan menyatakan semua dosanya sebelum mati. Matanya menatap bersungguh-sungguh membuat Vinear kebingungan.
"Gue gak mau dosa sendiri, makanya ayo."
Ngajak berdosa rupanya.
Jenoel beringsut bangkit, disusul Vinear. Pria itu berjalan mengendap-endap. Di sana hanya nampak punggung Alex, membungkuk seakan tidak ada roh di raganya.
Jenoel yakin dia tidur. Dia berjalan mengendap mendekati salah satu kulkas. Pergerakannya terhenti begitu sebuah suara memukul keheningan.
"Ada apa?" Suara rendah Alex menginterupsi di tengah kesunyian. Menengok menampilkan tatapan penuh selidik.
"Lo belum tidur?" tanya Jenoel menyorot Alex dari atas ke bawah.
"Udah," bohong Alex. Diteguknya segelas air dengan mata dialihkan kembali ke depan.
"Kamu dua jam sendirian di sini?" Pertanyaan Vinear disambut anggukan oleh Alex.
Tanpa meminta izin, Vinear duduk di salah satu bangku. Baru duduk sebentar, permukaan meja sudah menjadi tumpuan kepalanya.
"Daripada itu, kalian ngapain di sini? Mau nyolong makanan? Ma...." Alex berdeham, sebelum melanjutkan lagi kalimatnya. "Vinear sih maklum, tapi lo udah makan."
Tadi dia hampir salah sebut nama ya?
"Em, katanya dia cuman makan setengah dari jatahnya, makanya laper lagi," jelas Vinear menunjuk Jenoel di sampingnya. Yang ditunjuk tertegun.
"Laper? Dia sendiri yang bilang kenyang dan berniat taruh setengahnya ke kulkas, jadi diambil sama temen lo biar gak sia-sia. Tapi begitu diambil malah ngamuk."
"Gue tipe orang makan sedikit-sedikit dulu, jadi wajar kan?" elak Jenoel tetap membuka kulkas tak menghiraukan peringatan Alex.
"Nggak, yang begitu mana ada."