Let's Play Puzzle

Zen Gin
Chapter #7

Part 6 - Kafeina

Jenoel dan Vinear berjalan beriringan. Langkah cepat mereka sampai menimbulkan entakan kaki keras— tidak peduli dengan derit kayu tua, mengancam akan menjatuhkan diri. Yulvin berusaha mengimbangi langkahnya dengan mereka, tapi tidak bisa, tempat ini mengerikan. Jangankan berjalan normal, berdiri saja harus ada pegangan seperti lansia. Bisa saja sewaktu-waktu ada hantu yang menyergap memamerkan wajah busuk mereka yang penuh belatung. Yulvin bukan orang istimewa seperti di televisi, tapi ia sering merasa ngeri. Entah ilusi atau memang ada, tidak ada yang tau.

Yulvin tidak seharusnya di sini. Mulanya Fredinia yang mengajukan diri, tapi ditolak Alex. Pria itu beranggapan bahwa Fredinia yang bertemu Jenoel hanya membuat Vinear kewalahan. Sebagai gantinya Alex menukarnya dengan Yulvin yang tidak banyak bicara.

Yulvin menyambut gembira, tapi keceriannnya tak berlangsung lama. Dalam kurun waktu delapan menit wajahnya pucat karena semakin dalam tempat yang dilalui semakin gelap.

Tubuh mungil Yulvin tidak kuat terus-terusan berusaha mengejar kedua sejoli itu. Napasnya pun sudah tersengal-sengal. Ia beristirahat sebentar, bersandar di tembok seraya memegangi dadanya yang bergejolak tak keruan. Bukan hanya olahraga fisik, tapi mentalnya juga berolahraga, karena itulah ia berkali lipat mudah lelah dibanding orang lain.

Deru napas menyesakkan Yulvin membuat Vinear menoleh. Ia khawatir anak itu pingsan karena kelelahan atau semacamnya.

"Jeno, perlambat sedikit larinya bisa gak? Yulvin kayaknya kecapekan," bisik Vinear bersimpati kepada Yulvin.

Dekat telinga Jenoel, embusan napas Vinear mendarat hangat. Terlalu hangat, menandakan jarak mereka mungkin tak lebih dari sejengkal. Pria itu sempat merinding karena gadis itu tiba-tiba mendekati kupingnya nan sensitif.

"Iya ... terserah." Jenoel memperlambat larinya sembari mengusap telinga.

"Yulvin, kamu capek, 'kan? Istirahat dulu sebentar, yuk," ajak Vinear mengulurkan tangannya kepada Yulvin yang memegangi lutut sembari menyandarkan bahu di tembok tua.

Sesaat sebelum menerima uluran tangan Vinear, Yulvin teringat sesuatu. Ia sudah membebani mereka. Kenapa menjadi berguna itu sulit? Saat masih polos dirinya dianiaya seenaknya bak barang rongsokan yang diperuntukkan diinjak sebelum dileburkan. Kini Yulvin mengubah penampilan dari yang bertubuh tambun menjadi kurus mungil seperti anak kecil. Pikirnya tak ada lagi penindasan, tapi kepribadian dan wajahnya yang seperti pengecut membuat Yulvin selalu ditatap iba. Walaupun itu santapan sehari-hari, Yulvin adalah manusia yang bisa meledak ketika mendapat hal yang dibenci setiap hari.

"A-aku gak capek kok. Tadi ... cuman terlalu bersemangat aja." Setelah susah payah memeras suara, akhirnya keluar juga. Yulvin menarik kembali tangannya, memaksa senyuman kecut.

Vinear merasakan getaran terdengar tak mengenakkan dari anak itu. Vinear ingin menampar mulutnya sendiri. Entah kata-katanya yang menyinggung atau ia tak sengaja mengungkit hal tak mengenakkan. Gadis itu hendak bicara membuat suasana lebih baik, namun diurungkan.

Karena merasa sudah merusak suasana, Yulvin berencana membuka obrolan. "Emm, anu ... kamu masih komunikasi sama Jupiter?"

Nama yang familier. Seolah nama planet itu pekat di kelima panca indra. Vinear membeliak, meminta kelanjutan. Yulvin mungkin dulu ada hubungan dengannya. Vinear yakin ada yang salah dengan kepalanya. Mungkin akibat berada di ruangan ini, atau malah karena sejak awal ingatannya kacau, Vinear tak bisa mengingat beberapa hal yang sering hadir tiba-tiba.

"Jupiter itu ... siapa?"

"Eh? Ka-kalian kan dekat."

Yulvin menggigit ibu jarinya, takut sudah salah mengenal orang.

"Aku gak inget dia siapa. Tapi rasanya aku harus inget." Vinear memejamkan mata, merasakan helaian rambutnya sendiri yang bergetar pelan akibat langkahnya.

Yulvin plonga-plongo, tercenung. Kenapa Vinear tidak ingat? Apakah itu serius? Awalnya gadis itu mengira mereka ada masalah, sehingga Vinear bersikap seakan tak pernah mengenal Jupiter— pria berharga dalam hidupnya. Atau kemungkinan kedua, Yulvin salah orang.

Selang beberapa menit Vinear memutar otak, satu sosok tak asing hinggap di kepalanya. Meski wajahnya tak jelas, satu kalimat kata yang terucap membuatnya yakin bahwa orang itu adalah yang dimaksud Yulvin.

"Yulvin, aku kayaknya inget," ujar Vinear tiba-tiba sembari menggosok lembut dagunya.

"Eh? Beneran?"

"Iya, aku juga bingung kenapa bisa lupa, tapi yang pasti dia dulu temanku. Ehm, dia teman cowok pertamaku ... mungkin?"

"O-oh, gitu ... ya."

Air muka Yulvin tidak terlalu bagus, sangat kikuk. Vinear bingung, apa dia salah ucap lagi? Atau dia salah mengingat?

Atensi Vinear teralihkan ketika Jenoel terperosok. Kayu-kayunya sepertinya benar-benar lapuk, tidak dibuat-buat. Seketika itu juga kedua insan itu lebih berhati-hati melangkah.

Vinear mendekati Jenoel dengan mengendap-endap.

"Jeno!" Vinear berteriak. "Bisa bangun?" tanyanya cemas, mencoba membantu Jenoel berdiri.

"Iya," jawab Jenoel pucat dan lesu.

Vinear baru menyadari bahwa pria itu sedikit berbeda semenjak mendalami ruangan ini. Dia terlalu sibuk dengan Yulvin, sampai melupakan eksistensinya.

Jenoel berdiri, menggerayang dinding, kemudian lanjut berjalan dan menggamit pintu reyot, menelusuri permukaannya nan kasar— merasakan sensasi tak asing di jari jemari— hingga tangannya berhenti di knop pintu. Pintunya macet, sulit dibuka. Begitu terbuka, dua kotak kardus mendarat keras hampir menimpa mereka, menerbangkan debu-debu yang awalnya tenang. Debu beterbangan menerjang wajah Jenoel sampai dirinya terbatuk-batuk.

"Kamu gak kenapa-kenapa, 'kan?" tanya Vinear cemas. Pasalnya dulu dia memiliki kenalan alergi debu, cukup berat sampai mengharuskan mengenakan pakaian super tertutup. Saking parahnya sampai-sampai pernah dibawa ke rumah sakit.

Jenoel menoleh, lalu mengangguk pelan. Matanya yang berair dan merah menurunkan kepercayaan Vinear terhadap jawabannya.

"Daripada itu, jalannya berkelok-kelok, gelap ... juga." Suara Jenoel merendah kala kata gelap tersemburkan.

"Em, Jeno takut gelap?" terka Vinear memasang senyum seraya mendekat ke wajah lawan bicaranya, penasaran apa yang sedang ditampilkan dari pahatan tegas itu.

"Mungkin," aku Jenoel mengalihkan pandang ke lantai berdebu.

Napas Jenoel begitu sesak, memicu air mata turun lebih banyak lagi. Sekelebat bayangan merah amis dan seruan merah pekat mewarnai seluruh indera. Jenoel mulai berjalan lagi, mendahului Vinear dan Yulvin.

Raut muka Jenoel yang menegang jelas-jelas memberi petunjuk sedang tak ingin diganggu, namun juga butuh penenang. Kira-kira ini mirip ketika Vinear menyaksikan kerapuhan Alex. Kali ini Vinear tidak berani campur tangan— takut menyakiti hati lagi.

Sementara itu, napas Jenoel engap-engapan seakan paru-paru sedang menyempit. Langkahnya semakin tergopoh-gopoh. Isi kepala berputar-putar mengaburkan pandangan diiringi getaran kuat di sekujur tubuh.

Lihat selengkapnya