Let's Play Puzzle

Zen Gin
Chapter #8

Part 7 - Noda

Jejak langkah menyapu debu-debu menjijikan. Berjalan sendiri ditemani cahaya redup yang dipaksa mendampinginya. Tidak ada tanda kehidupan. Peluh mengotori wajah arogan Siska. Pergerakan tubuhnya sudah tidak sempurna lagi.

Sensasi nyeri di dada membawanya mengingat ketika sang kakak meninggalkan Siska sendirian di keramaian. Asing, ramai namun sepi. Tangan mungilnya kala itu bersih, tidak ada dosa, noda, kotoran. Namun kesendirian memaksanya bertahan, meski mengotori tangan. Sampai sekarang Siska berusaha membersihkan diri dan lingkungan, sebuah permohonan maaf juga hukuman.

Meski cahaya menerangi jalan, membasuh sedikit cahaya kepada Siska mungkin mustahil. Bagaimana jika dirinya di masa lalu melihat betapa kotor dan menyedihkannya Siska. Raut kecewa mungkin hal pertama yang membutakan mata.

Langkah teratur yang berusaha dipertahankan perlahan luntur. Tenaga tidak mau lagi mengaliri kedua kaki, Siska terperenyak. Air mata kepedihan melumpuhkan kakinya. Pandangan menerawang yang menyembunyikan kejujuran, menghempas segala cahaya.

Di lorong temaram ini, hanya punggung terakhir sang kakak yang nampak di mata. Tubuh ringkih dan rapuh yang begitu nekad membentangkannya demi melindungi sang adik.

Siska mendongak, memejam sekadar merasakan udara yang mendayu pelan. Punggungnya terbentang menghalangi cahaya, merasa tak layak diselimuti cahaya meski remang-remang. Telapak tangannya terkulai menyentuh lantai. Jika ini dirinya yang biasa, pemandangan seperti ini tidak akan terjadi.

Bertahun-tahun dirinya hidup berkecukupan. Sudah tak perlu lagi ternodai atau dinodai. Namun Siska tidak bisa menampik fakta bahwa dirinya sudah kotor, tidak sanggup memenuhi janji sang kakak.

Siska lahir di keluarga kurang mampu. Ayahnya kabur dari rumah, tau-tau wajahnya terpampang di TV sebagai pelaku pembunuh anak-anak kecil. Kejadian itu membuat kehidupan sosialnya susah, orang-orang banyak yang mengucilkan keluarganya. Stereotip masyarakat terlalu mengerikan untuk diterima oleh Siska yang saat itu masih berumur 7 tahun.

Ibunya yang stres mendadak sering membanting apa pun, terkadang pula menjadikan Siska pelampiasan. Di jalan suram itu, hanya sang kakak— Hadi— yang memberinya ketenangan.

Setiap hari selalu berulang. Tak ada akhir. Kalender yang bergulir hanya sebuah sugesti bahwa waktu berjalan. Stereotip masyarakat yang tak pernah luput. Sang ibu yang semakin gila menyiksa batin serta raga. Sang kakak bersedia menemaninya, tersenyum memberikan obat pereda segala penderitaan Siska.

Di sebuah kejadian yang sedikit menyentuh perbatasan lingkaran hidup, Hadi mengajak Siska pergi sekadar bersenang-senang. Sejenak Siska lupa jika dirinya masih terjebak di lingkaran kehidupan.

Pengakhiran terjadi ketika Hadi izin pergi ke toilet dan tidak kembali selama berjam-jam. Orang normal akan pergi jika dibuat menunggu, begitu pun Siska. Dirinya sempat mencari ke toilet, namun tak ada apa-apa. Satu-satunya yang terlintas adalah kembali ke rumah.

Sebuah pembebasan yang dideklarasikan oleh kobaran api yang melahap habis rumahnya, beserta kakak dan sang ibu. Siska bebas dari itu semua. Ia bisa pergi jauh, terlepas dari cinta sang kakak dan kegilaan sang ibu.

Siska menyebut dirinya idiot jika mengingat punggung sang kakak— punggung rapuh bak kaca yang selalu siap membentang hanya demi dirinya. Jelas-jelas langkahnya gusar. Jelas-jelas punggungnya bergetar. Siska memilih tidak ambil pusing. Ia merasa sudah menjadi orang bodoh.

Di depan amukan si jago merah yang diiringi teriakan-teriakan warga, Siska hanya diam mematung. Kedua telinganya bisa merasakan kehadiran sang ibu yang menjerit-jerit di dalam. Itu malah membuatnya tertawa getir, sembari membiarkan air mengalir deras.

Semenjak Siska kehilangan tempat yang disebut rumah, dia hanya berkelana tanpa tujuan. Mengotori tangan dan jiwa demi bertahan hidup. Mengesampingkan moral demi tidak menemui sang ibu dan juga Hadi. Siska kala itu masih berumur 9 tahun, berjalan-jalan tanpa menyimpan uang sama saja bunuh diri.

Siska tidak bisa memikirkan mana yang benar dan mana yang salah. Satu-satunya yang bisa diingat adalah nasihat-nasihat kakaknya yang sudah ia langgar. Hadi mencintai kebersihan, kerap menyuruh sang adik tetap bersih kendati mereka tak bisa memakai peralatan kebersihan sebanyak orang lain. Siska selalu merutuki dirinya tiap melihat tubuh mungil itu penuh kotoran.

Hadi sering menyuruhnya pula bersikap baik dan ramah. Siska melanggarnya, karena demi hidup. Ia melakukan apa pun. Mencuri, bersikap kasar, merampas, dan lainnya. Siska terkekeh mengingat kejadian itu. Ia sudah menodai dirinya sendiri dan enggan bertemu sang kakak padahal selalu berjanji akan mengikutinya ke mana pun. Siska kini menganggap dirinya sangat munafik.

Di umur 10, Siska mendapat sebuah imbalan dan juga penghakiman. Gelimangan harta memberinya banyak hal untuk menjaga kebersihan serta kerapian. Dosa-dosanya dihakimi oleh masyarakat. Dulu dia sering bersedih karena dicap kriminal padahal hanya sang ayah yang melakukannya, namun itu malah menjadi kenyataan.

Jika diingat-ingat, Siska bersyukur memiliki orangtua yang lebih pengertian, mau memungutnya yang sudah banyak menodai diri sendiri. Sejenak ia merasa bersalah hanya menikmatinya sendiri, sedangkan sang kakak entah bagaimana.

Siska membenci barang kotor, itu mengingatkannya pada versi dirinya yang menyedihkan dan kriminal. Kini ia serasa kembali menjadi kotor. Atau sejak awal dia tidak bisa bersih? Dia tidak sesuci kakaknya.

Mata Siska panas dan perih. Tiba-tiba pipinya dialiri air, berkumpul di dagu. Siska tidak menyadarinya, tau-tau air mata menetes saja. Meskipun sepi dan ditinggalkan, memperlihatkan wajah sedihnya kepada udara itu tetap memalukan. Siska menangkup wajahnya yang dibasahi cairan bening hangat.

Sejak kapan saya begini? batinnya pilu. Siska awal-awal hanya mendisiplinkan diri, dan berakhir terobsesi. Kini itu semua luntur secepat cahaya hanya karena mengingat rupa sang kakak yang telah lama tak sengaja terkubur dalam.

Gadis itu sudah mendapat banyak yang dibutuhkan. Tapi hidupnya tetap terasa hampa. Tubuhnya masih merindukan kehangatan sang kakak. Orangtua barunya sudah banyak memberi kehangatan, Siska masih tidak cukup. Mungkin rindu, atau sekadar ingin memastikan semua itu tak pernah terjadi. Sensasi hangat di pundak menggerayanginya seolah memintanya kembali, entah kembali ke mana, sejak awal Siska tidak memilikinya. Siska menggigit bibirnya. Dia pasti berhalusinasi.

"Siska."

Siska membuka mata, membeliak. Ia menoleh ke sumber suara. Bukan ilusi. Vinear menyentuh pundaknya dengan tatapan yang sulit dimengerti.

"Ka-kamu kok di sini?" tanya Yulvin khawatir.

Siska hanya diam, lidahnya kelu, tak tau harus berkata apa. Dia sudah memperlihatkan sosok menyedihkan dan berantakan, memalukan.

"Kesandung," kilah Siska menyisihkan tangan Vinear yang bertengger di pundaknya.

"Eh, gitu ya. Em, Alex mana?" tanya Vinear sembari celingak-celinguk.

"Gak tau."

Lihat selengkapnya