"Lo Noel, 'kan? Ayo! Biar cepet kelar!"
"Benar, ini akan cepat berakhir jika Anda mau menurut."
"BUKAN! BUKAN! BUKAN!" teriak Jenoel menyanggah semua yang diceluskan Alex dan Siska. Jenoel mengacak-acak frustrasi sambil terus mengulangi kata yang sama. Kedua bola mata Jenoel diselaputi air mata, mengaburkan penglihatannya, membiarkan lensa kacamatanya berembun.
Tepat di sebelah Jenoel duduk, Vinear duduk merenung. Ia menyesal sudah banyak cakap tanpa pikir panjang. Dari Jenoel yang menutupi nama aslinya saja seharusnya cukup untuk menjadi bukti bahwa anak itu benci nama tambahan itu. Jika tau situasinya akan seribut ini, Vinear tidak akan bicara apa-apa.
Sesekali Vinear melirik ke samping. Cowok di sebelahnya nampak kacau, berteriak-teriak menutup telinga di antara 2 orang yang mendesaknya, tak peduli akan perasaan cowok itu. Vinear tak bisa memihak, kedua pihak sama-sama dirugikan. Alex dan Siska mungkin memiliki kepentingan tersendiri, sedangkan Jenoel mungkin belum siap menghadapi hal menakutkan yang tidak diketahui. Air mata Jenoel tersebar ke udara, membuat nelangsa Vinear yang menyaksikannya. Tiap teriakan cowok itu terdengar pilu, dibarengi erangan menyayat hati.
Siska dan Alex adalah dua insan yang sama-sama sarat keinginan keluar dengan cepat. Alex ingin meminum kopi, meredakan segala kekacauan dalam diri. Siska mengaku kepada Vinear bahwa dirinya ingin keluar, membenahi semua yang salah ia tata, salah jalur.
Berisik. Tidak tenang. Lelah. Tiga hal yang ingin direndam hingga meleleh oleh Vinear, sebentar saja tak apa, kendati akan kembali lagi pun ketenangan sangat dibutuhkan. Vinear mengapit kepala di antara 2 tangan, menutup telinga, menolak suara yang tersebar-sebar ke berbagai arah. Perlahan kelopak mata menutup, menghalau cahaya menerobos. Vinear memusatkan fokusnya pada detak jantung. Darah yang mengaliri seluruh tubuh seperti sungai panjang. Perlahan semuanya tenggelam, dalam dan gelap. Hitam melahap, membawa ketenangan sementara.
Di satu tempat, Yulvin menengadah. Kedua permatanya memandang berbinar hamparan planet-planet di antara taburan bintang. Planet Jupiter terlihat kontras di matanya dibanding planet-planet lain. Ia heran, kenapa begitu banyak yang berhubungan dengannya? Awalnya Yulvin mengira hanya kebetulan.
Bagaimana pun, Jupiter sudah bersedia mendampingi kekelaman perkara hidupnya. Yulvin bersyukur sepupunya— Venmir— sudah membawa orang itu datang padanya. Walaupun awal-awal sedikit usil dan iseng.
Sebelum menjadi versi diri sekarang, Yulvin ditolak sana-sini. Hanya keluarga yang siap mengulurkan tangan, sekali pun dirinya menyedihkan. Perundungan karena fisik Yulvin yang pendek dan agak berisi, memberikan ingatan pahit melekat tajam. Tubuhnya yang sekarang ia memiliki tubuh ramping.
Setelah kedua orangtua tercinta mengetahui perundungan yang menyeretnya ke mana-mana, kehidupan Yulvin berubah. Ia berolahraga didampingi sepupunya, hingga mencapai berat tubuh ideal. Meski begitu tingginya belum sampai rata-rata remaja. Dia juga pindah sekolah, diawasi ketat sehingga tak ada yang macam-macam.
Yulvin tau dia seharusnya bahagia dan menikmati hasil perjuangan keluarganya, itu terlalu sulit. Yulvin ingin dianggap ada bukan sebagai orang yang malang dan harus selalu dibantu. Yulvin benci dirinya yang gelagapan dan menjadi takut berbicara pada orang-orang baru. Dirinya sudah berulang kali memaksakan mulut berbicara, tetap saja belum terbiasa, bahkan sampai sekarang.
Terlalu melelahkan. Yulvin tidak tau bagaimana mengatasinya. Apakah takut bicara pada orang baru itu salah? Apakah tak ada kesempatan lagi mencoba dan membantu? Yulvin merasa kehadiran di dunia ini sama sekali tak berguna. Pengecut yang bahkan tak berani bersuara.
Bahu Yulvin serasa longgar. Perlahan ia bersandar, memberikan tubuhnya istirahat yang layak setelah semua ini. Sudah berjam-jam dirinya duduk merenungi kehidupan, menunggu yang lain selesai membujuk Jenoel. Cowok itu kerap berteriak, mengubur keheningan yang didambakan.
Yulvin memakan jarak antara lutut dengan dadanya. Yulvin menumpukan kepala di kedua lutut, menenggelamkan sebagian wajah. Ia menengok ke samping, tempat Vinear berada. Entah gadis itu sedang tidur atau apa, walaupun diteriaki Fredinia ia sama sekali tidak menyahut.
Vinear, gadis yang dikasihi Jupiter. Betapa besar cintanya bisa Yulvin rasakan. Matanya yang selalu bersinar-sinar, lengkungan manis yang melebar tanpa diminta, serta kata-kata manis yang mencelus keluar sudah cukup sebagai bukti bagi Yulvin untuk mengukur betapa besar cintanya pada gadis itu. Wajah semringah Jupiter selalu dielu-elukan Yulvin, membagikan kebahagiaan.
Senyum getir terukir tanpa diperintah. Yulvin merasa geli mengingat diri di masa lalu. Sejujurnya, setiap kali Jupiter membangga-banggakan wanita itu, ia agak iri sehingga mengganti nama Vinear dengan namanya.
Yulvin senang begitu tiba di sana. Takdir mempertemukannya dengan Vinear. Ia senang berkenalan dengan gadis itu. Dia senang mengetahui Vinear benar-benar sesuai seperti yang diceritakan Jupiter. Walaupun gadis itu melupakan Jupiter entah karena apa, Yulvin yakin dalam waktu dekat ia akan mengingat kembali, buktinya gadis itu langsung mengingatnya walau tidak detail. Yulvin yakin dia senang, bahagia, namun juga sedih.
Yulvin merasa sudah berbuat jahat meski sekadar merasa lega begitu Vinear melupakan Jupiter, meski tak sepenuhnya. Seakan ada pintu yang terbuka lebar. Tapi sayang sekali, pintu itu disediakan bukan untuknya.
Di tengah keributan ini, tidak ada yang menyadari turunnya air mata dari seorang Yulvin. Yulvin sudah mencoba meyakinkan diri bahwa ia bahagia jika Jupiter bahagia. Kekanakan memang jika ia mengakui bahwa Yulvin begitu sesak mengetahui ia bukan bagian dari kebahagiaan Jupiter. Berkali-kali ia meyakinkan diri, bahwa ini hanya perasaan labil remaja, wajar. Itu wajar, tapi sama seperti ketakutannya yang dikatakan wajar, ini tetap menyakitkan.
Andai Yulvin tak dianugerahi kemampuan merasakan emosi, andai ia tak bisa merasakan sesuatu yang normal ini, sejak awal Yulvin tak perlu memperjuangkan diri mengobati batin yang tak bisa sembuh. Tidak perlu cemas dan panik tiap bertegur sapa. tidak perlu sedih jika dihina, tak perlu juga menyukai Jupiter sampai seperti orang gila.
"Anda kenapa?"
Yulvin membuka mata, menggosokkan mata ke lengan sebagai upaya menghapus air mata. Kemudian ia memberanikan diri mendongak.
Siska berdiri dengan gaya pongah, melipat kedua tangan, mengangkat dagu. Yulvin agak heran dengan gaya Siska yang sedikit berubah, tidak sekaku sebelumnya— walaupun masih kelihatan arogan.
"Ng-nggak a-ada apa-apa kok. Cu-cuma sakit ... kepala," balas Yulvin berdusta.
"Jangan bohong."
"Em, nggak kok," jawab Yulvin, terpotong sampai akhirnya ingin jujur karena dorongan hati, "cuman nangis ... se-sebentar."
"Begitu ya. Syukur deh hari ini gak cuman saya saja. Oh iya, primata terbesar Afrika itu juga sedang menangis ya." Siska menyingkap rambut lurus dan rapinya. Hitam legam bak langit kesepian, berkibar menebarkan kilauannya ke penjuru arah.
"Primata terbesar ... Afrika?" lirih Yulvin kebingungan.
"Gorila," sahut Siska cepat.
"A-ah, be-begitu," ucap Yulvin kikuk, sembari sedikit memaksakan tawa.
"Saya permisi duduk di sini," izin Siska duduk di sebelah Yulvin, hanya dibalas dengan anggukan kaku.
Sekian jam berlalu, interaksi mereka berdua tidak mengalami perkembangan. Jenoel juga tertidur, tepatnya pingsan karena terlalu lelah entah karena apa. Alex frustrasi di pojok ruangan. Vinear hanya diam menutup mata, ia tidak tidur sama sekali.
Mungkin harus coba tanya sesuatu. Yulvin mengepalkan tangan diiringi embusan semangat, berinisiatif membuka topik obrolan. Ada kalanya Yulvin nekat menyongsong kegugupannya, demi berkenalan atau sekadar bertegur sapa, berharap terbiasa bersosialisasi, walau nihil
"Em, a-an ... eh?"
Yulvin berkedip-kedip. Siska tertidur, bersandar pada tembok. Wajahnya yang tertidur nampak damai. Sikap arogan Siska kabur, digantikan oleh raut wajah seperti manusia pada umumnya.
Bibir mungil nan tipis milik Siska sesekali melenguh karena posisi yang tidak nyaman. Bulu mata lentik berbaris begitu lebat dan hitam legam. Rambut lurus yang biasa terawat rapi sedikit berantakan, bersarang di wajah akibat keringat serta minyak wajah. Kulit seputih susu mewarnai proporsi ideal wajahnya. Garis hidung Siska kembang-kempis, ujung hidung nan lancip itu tampak serasi dengan matanya yang besar— menambah kesan manis.
Yulvin yang perempuan saja terpana oleh wajahnya. Ketika kearoganannya hilang, Siska lebih manis dan tenang.
Tanpa sadar, Yulvin betah berlama-lama memandangi wajah tidur Siska. Kelopak matanya semakin berat, berat, dan berat. Yulvin tidak ada tenaga lagi, lantas dirinya mengalah dan terlelap.
Hari berlalu. Kondisi tidak jauh berbeda. Alex dan Siska tidak gentar memaksa Jenoel mengiyakan. Pria itu lama-lama semakin melemah. Teriakannya terlalu keras, terkesan seperti orang sekarat. Vinear larut dalam penyesalan dalam dan segala puzzle dalam diri, seolah dirinya tidak lengkap dan banyak puzzle yang hilang. Yulvin diam mengamati perangai mereka, terkadang juga mendengarkan ocehan Siska betapa menyebalkan dan menyedihkannya Jenoel. Fredinia kerap mengganggu Alex, entah apa tujuan gadis itu.