Langit kelabu menampakkan suramnya dunia. Awan mendung berarakan menampung air yang siap ditumpahkan. Matahari hampir tak menyumbang sepeser pun sinarnya. Ini adalah kejadian bertahun-tahun lalu, ketika Jenoel dan Noel masih berumur 12 tahun. Tepatnya ketika mereka berdua baru beberapa hari pindah rumah dari kota seberang. Di taman, tatkala anak-anak dari berbagai kalangan umur berlarian di taman sembari menunggu hujan turun deras.
Di cuaca begini umumnya orang-orang akan berteduh atau menghangatkan diri di rumah dengan segelas kopi sembari menikmati alunan indah suara hujan yang berteriak-teriak menubruk tanah, tidak dengan anak-anak yang tengah berlarian di taman pasir— melawan udara dingin menusuk kulit.
Di antara anak-anak itu, Noel berlari ceria menampakkan giginya yang belum sempurna— terdapat satu gigi yang tidak berada di antara dua barisan gigi. Di kejauhan, Jenoel duduk membaca buku yang dibelikan sang papa. Wajahnya berseri hanya dengan menikmati tiap kata yang tersaji— mengabaikan kulitnya yang terasa dingin akibat dijilat semilir angin.
Noel menggembungkan pipi. Padahal dia sengaja mengajak Jenoel untuk bermain-main, lalu menikmati guyuran hujan.
"Kak, ayo main!" ajak Noel menarik salah satu tangan Jenoel.
Bocah laki-laki berkacamata itu menatap lekat adik kembarnya. Wajah mereka begitu mirip, hampir sulit dibedakan jika Jenoel tidak memakai kacamata. Jika dari segi fisik saja mungkin Noel seperti kloningannya, namun sifat mereka bertolak belakang.
"Nanti," jawab Jenoel singkat, terkesan dingin. Atensinya kembali teralihkan ke buku di tangannya.
Jenoel mengintip ekspresi yang dipasang Noel melalui ekor mata, adiknya itu memonyongkan bibir. Jenoel tak ambil peduli, ia hanya fokus membaca.
Bukan karena malas bergaul atau membenci Noel, Jenoel hanya membenci aktivitas fisik. Apalagi di keadaan begini, kakinya terasa seperti dipatahkan dinginnya udara. Jenoel pun sebelumnya menuruti permintaan sang adik karena dipaksa oleh orangtua. Noel memakai cara licik dengan mengenalkannya kepada para tetangga lalu belajar bersama karena mereka semua seumuran. Nyatanya tidak benar. Noel berbohong untuk mengajak Jenoel bermain hujan-hujanan. Waktu kelahiran anak-anak yang ada pun berasal dari berbagai tahun.
Baru hari kelima keluarga mereka pindah dari kota lain, Noel sudah beradaptasi dengan anak-anak lainnya. Jenoel iri karena dia begitu santai dan tak mengacuhkan pergaulan, dirinya percaya jika beradaptasi setidaknya butuh waktu satu bulan. Namun Noel dengan mudahnya berbaur. Nampak ada sekitar 10 anak lebih.
"Kakak jahat! Padahal susah-susah aku datengin 10 orang buat main bareng."
Jenoel terhenyak. Adiknya mungkin hanya ingin bermain bersamanya yang selalu menutup diri. Pandangan Jenoel berfokus ke belakang pundak Noel. Teman-temannya banyak juga, perempuan dan pria tercampur dalam satu kelompok. Tatapan mereka serta bisikan yang entah apa membuat Jenoel merasa risi.
"Aku juga gak minta."
"Udah, kita aja yang main," ujar seorang anak lelaki menarik tangan Noel, menatap sinis ke Jenoel sebelum berbalik.
Tuh, kan, ributnya sama siapa dimusuhinnya sama semua orang.
"Kamu baca apa?" tanya salah seorang gadis kecil bermata hazel, mungkin lebih muda dari Jenoel. Cewek mungil itu membentuk senyum di bibir tipis ranumnya, menampilkan lesung pipi di kedua pipi gembulnya. Tanpa permisi ia duduk di samping Jenoel, melongok ke arah buku yang dibaca Jenoel.
"Bu—"
"Oh, aku tau ini! Aku pernah pinjem dari kakak."
"Oh, eum. iya."
"Kamu orangnya agak canggung ya." Gadis itu menyipitkan mata karena menarik kedua sudut bibir.
"Maaf."
"He he, santai aja. Hidup itu terlalu singkat untuk mikirin banyak hal." Gadis itu menengadah dengan kakinya yang berjuntai. Langit mendung favortinya sedang bertatap muka dengannya.
Jenoel membuka kecil mulutnya. Ia menatap seakan menemukan kawan lama. "Itu ... kutipan dari blogger terkenal, kan?!" Nada suaranya lebih tinggi dan ceria.
"Iya, kamu tau juga?" Gadis itu mengangguk. Menoleh menampilkan wajah semringah.
Jenoel mengangguk sebagai tanda jawaban. Senyum kecilnya belum kunjung luntur dari wajah polosnya.
"Aku suka banget loh sama buku, terutama yang berhubungan sama kakakku." Gadis itu menekankan kata terakhir, nada suaranya meninggi di sana.
Mendengar itu Jenoel menatap ke arah Noel yang tengah melompat-lompat kegirangan bersama anak-anak lain. Anak itu sudah melepas kaosnya saja, padahal udara dingin dan hujan belum memeras isinya.
"Kamu ... suka banget kakakmu ya? Dia gimana orangnya?" tanya Jenoel murah, tanpa menoleh.
Tanpa diberi jeda, gadis itu sudah bicara panjang lebar mengenai kakaknya. "Keren! Pokoknya keren! Buku-buku di perpustakaan udah dia baca semua. Aku aja setengahnya belum karena kebanyakan tentang pelajaran. Dia punya banyak temen. Kadang juga bawa om-om ke rumah entah buat apa, aku gak ngerti. Katanya sih buat belajar, tapi rasanya gak yakin, tapi tetep aja keren! Kakak juga ramah ke semua orang, suka senyum. Walaupun agak sibuk, dia masih nyempetin waktu untuk aku. Suka! Pokoknya suka!"
"Kakakmu emang umur berapa? Udah kerja ya?" Jenoel jadi berbasa-basi, tidak tau harus bertanya apa selain itu.
"Belum kok, walaupun tinggi dia umur 12, 3 tahun lebih tua dariku."
Jenoel membeku. Ia membenarkan kacamatanya yang melorot, lalu menatap canggung wanita di sampingnya. Tidak percaya dengan cerita yang dicurahkan anak di hadapannya, terkesan dibuat-buat, tapi sepertinya benar. "O-oh, gitu ya."
Gak bisa dipercaya, kakaknya seumuran denganku.
"Oh iya, kita belum kenalan."
"Ah, iya juga. Em, aku Jeno Elgar. Kadang dipanggil Jenoel."
Nama Jenoel didapat dari gabungan huruf depan nama marganya, alasannya karena sang papa lebih suka begitu karena terasa mirip dengan Noel.
"Namanya unik ya. Aku Lili Hunier, hampir jadi Lili Hunter, salam kenal." Lili mengulurkan tangannya, meminta disambut. Dengan agak ragu, Jenoel menerimanya.
Setitik air turun dari langit, mendarat mulus di pipi gembul Jenoel. Perlahan titik itu kian banyak. Anak-anak bersorak sorai menyambut kedatangan hujan, seakan baru pertama kali mengenal fenomena alam ini. Jenoel heran dengan sikap mereka yang menurutnya aneh dan menyerupai simpanse.
Suara mengejutkan dari payung mengembang mengagetkan Jenoel yang ternyata sudah basah kuyup terguyur. Dari dagu dan ujung rambut mengarahkan air untuk meresap ke pasir. Jenoel tersentak menyadari bukunya sudah setengah basah. Di tengah itu, tiba-tiba percikan air membasahi bukunya lagi yang ternyata berasal dari anak-anak yang bermain pistol air. Sorakan dan semangat mereka kian menjadi ketika hujan berderai semakin banyak.
"Sini bukunya, kusimpen dulu." Lili mengambil paksa buku Jenoel, menyimpannya dalam tas selempang yang tercantol di bahunya.
"Ah, terimakasih."
"Kita cari tempat neduh yuk." Lili mengajak sembari menyapu pandang, mencari tempat untuk menaungi mereka dari terjangan hujan.
Jenoel bangkit, celingak-celinguk mencari tempat berteduh. Ia menyengih ketika mendapati sosok aneh di belakang Lili. Seorang pria berjubah hitam yang membiarkan dirinya dibanjur air hujan, lengkap menggunakan topi dan sepatu boots. Wajah orang itu tidak begitu jelas karena ditutupi masker dan kacamata hitam.
***
"Jeno, nak, buka pintunya! Kamu kenapa sih belakangan ini?" Nada suara tinggi sang bunda dari luar pintu membuat Jenoel mempererat bantal ke telinga, enggan mendengar segala jenis suara— terutama bernada tinggi dan keras. Gedoran pintu berulang-ulang memberi sinyal jika tidak dibuka suaranya akan mengeras.
Jenoel sama sekali tak menggubris panggilan itu. Ia masih setia meringkuk, melapisi diri dengan selimut tebalnya. Kamarnya gelap, tak disorot cahaya sedikit pun.
"Udah, udah, dia mungkin lagi puber." Suara sang papa yang menginterupsi berupaya menenangkan emosi sang bunda.
"Tapi ini gak wajar! Jeno kan ... ah!" Jelas sekali betapa frustrasi sang ibunda. Jenoel masih tetap diam, meringkuk di kamar dengan pandangan kosong.
"Udah, ayo kita omongin dulu, ya."
Percakapan mereka tak terdengar lagi. Jenoel agak lega. Anak itu menutup mata sebentar, mencoba menenangkan degup jantung yang tak beraturan. Alunan suara hujan bak lagu penghantar tidur bagi Jenoel. Ia terlelap, begitu tenang dan damai.
Berjam-jam kemudian, Jenoel baru terbangun. Sudah tidak hujan. Entah berapa lama dia tertidur, keadaan ruangannya jauh lebih gelap dibanding sore tadi. Jenoel menengok jam dinding. Sudah pukul 8 malam, ia ketiduran sekitar 4 jam. Keadaan rumah cukup sepi, mungkin keluarganya pergi. Biasanya akan terdengar televisi yang mengisi kesunyian. Biasanya jika bukan Noel yang menonton kartun, pasti sang papa menonton acara pertandingan bola. Melalui sela bawah pintu pun tak nampak tersosor cahaya apa pun, berarti saat ini Jenoel memang sedang sendiri.
Jenoel beringsut duduk, merangkak mendekati jendela yang ditutupi tirai. Ia mengintip dari cela yang ada. Tidak ada siapa-siapa, sunyi. Hanya menampakkan deretan rumah yang terang benderang dan beberapa gelap seakan tak berpenghuni. Entah memang kosong atau hanya ditinggal sementara, Jenoel tidak begitu tau, dia tidak kenal siapa-siapa selain Lili dan Jia— teman Noel yang sering memberikannya minum tanpa tujuan jelas.
Jenoel menghela napas lega. Semenjak dari taman, anak itu sering melihat orang dewasa mencurigakan. Di sekolah, rumah, tempat perbelanjaan, bahkan stasiun, orang itu selalu mengawasinya. Orang itu mengenakan busana berbeda-beda, tapi Jenoel yakin itu adalah orang yang sama karena kacamata dan topi yang sering dipakai nampak sama, terutama postur tubuh.
Sudah berapa lama orang itu menguntit? Mungkin lebih lama dari sebelum ke taman. Bisa saja Noel yang diincar, tapi dia tak yakin karena semenjak dari taman adiknya itu demam. Ia juga mendapat pengawasan penuh dari bundanya yang selalu mengomel tiap datang ke kamar. Sudah jelas bahwa Jenoel yang diincar. Tapi anak itu tak punya apa-apa selain kegilaan membaca, untuk apa diincar? Orangtuanya juga bukan dari keluarga berada. Kalau ingin nyawanya saja mungkin Jenoel memang sasaran empuk, tapi dia selalu berada di sisi Noel yang selalu membawa rombongan.
"Mungkin dia salah ngira aku Noel? Tapi ... kita beda jauh."
Sudah 2 hari Jenoel mengurung diri karena ketakutan. Ia sudah menceritakannya kepada orangtuanya, tapi mereka hanya mendengarkan saja dan memberi solusi tidak berguna seperti belajar bela diri. Ketika ia mengatakan kepada Noel secara runtut dari awal sampai akhir, saudaranya itu hanya tertawa dan mengatainya terlalu penakut. Sudah tak ada tempat aman, Jenoel pun mengurung diri. Walaupun ia tenang karena selalu pergi beramai-ramai, tetap saja ia ketakutan.
Karena ingin memastikan lebih lanjut, Jenoel membuka tirai lebih lebar. Jenoel membelalak, memekik kaget sampai terjungkal dari ranjang. Sosok itu ternyata berada di depan jendelanya, menempelkan wajah.
Urat merah di matanya yang bergetar menambah kesan horor. Ia membelalak lebar begitu Jenoel memucat. Meskipun mengenakan masker, matanya yang menyipit mengisyaratkan orang itu tengah menyeringai— menikmati ekspresi wajah yang disuguhkan anak kecil tak berdaya di hadapannya.
Sekujur tubuh Jenoel begitu lemas. Napasnya tak beraturan. Tubuhnya serasa telah menjadi mayat— dingin dan mati rasa. Seluruh bagian tubuh gemetaran parah. Bola matanya membeliak dan bergetar-getar seakan ingin keluar dari rongga mata.
Pelan-pelan Jenoel menyeret mundur tubuhnya sampai menabrak pintu. Orang itu memidai seluruh sudut jendela. Orang misterius itu mengetuk-ketuk jendela seakan menyuruh Jenoel membukanya.
Dengan tubuh lemah tak berdaya, Jenoel berusaha bangkit. Pria itu menggedor pintu, meminta dibuka dan melupakan bahwa kuncinya menggantung.
"BUNDA! BUKA! NOEL! PAPA!"
Jenoel menggebrak pintu, berharap seseorang masih tersisa di rumah dan membukakan pintu. Tangannya memukul pintu di berbagai titik, sampai dia baru teringat kunci yang menggantung. Jenoel buru-buru membuka pintu, kemudian menutup keras sampai suaranya mampu merambat ke seantero ruang.
Tubuhnya yang menegang sudah mengendur perlahan, meraup udara sebanyaknya untuk mengisi napasnya yang seakan sempat hilang. Dada ratanya kembang kempis, memacu kinerja jantung lebih keras. Di dalam ruang kubus ini seolah memang hanya ada detak jantungnya yang mengiringi kengerian luar biasa.
Tiba-tiba bahunya merasakan sentuhan. Kulit sensitif Jenoel menggerakkan otomatis tubuhnya untuk berteriak dan mundur sejauh mungkin. Dia refleks menutup mata, tak berani menyaksikan langsung pelaku yang menyentuh bahunya.
"Kak, kenapa teriak-teriak?" Suara ini suara yang sangat dikenal telinga Jenoel.
Anak itu berani membuka mata. Adik kembarnya tengah memandang heran. Wajahnya tidak begitu jelas karena kacamatanya terjatuh saat ia melompat mundur tadi. Tapi Jenoel sangat yakin ini adalah adiknya.
Pandangan Jenoel semakin memburam karena dihalangi air mata yang menggunung. Anak lelaki itu menangis tersedu-sedu, kemudian memeluk Noel yang terheran-heran dengan sikap kembarannya itu.
Noel menautkan alis, melongok ke dalam kamar sang kakak. Tidak ada apa-apa, hanya ranjangnya saja yang sedikit berantakan. Bantal-bantal teronggok sembarangan di lantai dan seprai yang bergelombang-gelombang tak beraturan, serta gorden melambai-lambai pelan
"Kenapa sih?" tanya Noel polos.
"A-ada ... om-om ...," lirih Jenoel tak berani mengangkat wajah.
Noel memutar bola mata. Jenoel jadi aneh sekali akhir-akhir ini. "Siapa? Om Badrun? Dia kan tetangga kita."
"Bukan! Dia bukan tetangga! Pasti bukan!" sangkal Jenoel keras.