Gelap. Satu-satunya cahaya hanya ada di atas, entah di mana sumbernya— seakan tengah diguyur matahari. Ruangan tanpa batas. Lantai bahkan hitam legam. Langit tak terhitung tingginya, tak nampak ujungnya.
Selalu begini. Jika kakak setan itu sudah mendapatkan kembali tubuhnya, aku ... terperangkap di sini. Dari hari ke hari, durasi waktu melihat dunia itu semakin singkat. Mungkin saja lama-lama justru tidak akan ada lagi aku.
Apa aku tidak bisa lagi melihat dua orang yang membuatku ada? Padahal hanya mereka yang tetap bersikap normal seakan aku memang Noel, bukan menganggapku Jeno yang menggila atau kerasukan jin.
Kalau dipikir kenapa ya aku tidak pernah
Kenapa saat itu aku dulu? Yang diteror itu kakak kan? Yang selalu diikuti itu kakak kan? Yang selalu bersama Lili itu aku, lalu kenapa anak itu menyelamatkan dia, bukan aku? Karena tidak sempat? Apa susahnya berlari sambil berteriak tolong.
Kenapa hanya dia? Kenapa? Kenapa? Kenapa? Kenapa? Kenapa?
Bahkan sampai akhir pun aku masih memanggilnya kakak. Dia itu adikku. Hanya karena dia sedikit lebih dewasa saja aku memanggil dia begitu. Walaupun perbedaan waktu kami hanya sepersekian menit, tetap saja aku tidak terima.
"SIALAN!"
Hanya aku yang menderita. Lihat orang itu, mendapat banyak teman ya sekarang. Padahal dulu dia saking pengecutnya sampai-sampai harus kuseret agar mau bergaul.
"Noel!"
Anak sialan itu ... suaranya selalu saja mengusik telingaku. Kapan dia puas menyiksaku?
"Noel!"
"BERIS—"
Apa ini? Padahal biasanya tiap ada yang memanggil namaku, ke mana pun aku menoleh, hanya udara kosong yang menyapa. Tapi sekarang ... dia menampakkan diri, dalam tubuh anak kecil. Seperti dulu, tidak, mungkin lebih kecil lagi. Dan aku memiliki tinggi yang hampir sama, tidak berbeda jauh.
Lucu sekali, tiap aku menemui dunia, selalu melompat jauh sampai-sampai aku berpikir bahwa aku memang tumbuh dan nyata. Tapi di sini, aku tidak tumbuh. Yang sudah mati tak bisa dewasa, tidak bisa bermimpi, tidak bisa lagi ... menemui pengecut sok keren itu yang sudah dewasa.
Aku masih membencinya, tentu saja aku benci dia. Bahkan menyumpahinya sudah menjadi ritual wajib. Seharusnya aku menamparnya, memukul dia, lalu memberitahu betapa bodoh dan lemahnya dia. Sepertinya karena petak umpet tadi, aku kehabisan tenaga.
Hanya air mata yang menjadi ungkapan semua uneg-uneg yang tak bisa kusampaikan langsung. Ini tidak cukup, aku ingin lebih. Namun, seluruh tubuhku tidak mau diperintah.
"Kakak."
Suaranya masih sama, sok dewasa dan seperti anak bodoh. Senyuman polos itu seakan semua mimpi buruk itu tak pernah ada. Menghinaku ya?
Dia memanggilku kakak, lucu sekali.