Let's Play Puzzle

Zen Gin
Chapter #12

Part 11

Ruangan bodoh. Aturan bodoh. Orang-orang bodoh. Kenapa aku berakhir di sini? Pintu pahit, apa itu mendeskripsikan diriku? Wajahku pahit? Atau karena lidahku?

Meskipun begitu, aku berakhir di sini bukan karena kemauan siapa-siapa. Aku terpaksa. Jika tidak berada di sini, aku tidak bisa mengonsumsi kopi yang sudah menjadi bagian dari diriku. Tanpa kopi, akan mengantuk. Ketika mengantuk, akan tertidur. Jika tertidur ... gambar-gambar mengerikan itu terpampang di otak, menjadi tontonan sepanjang mataku tertutup.

Beberapa waktu sebelumnya, wanita bernama Vinear dengan model rambut berantakan itu tiba-tiba terkunci. Tentu saja aku menyadari sesuatu. Sebelumnya kulihat dia begitu terpikat pada pintu kayu putih itu. Jadi, kusimpulkan jika semuanya harus memasuki pintu yang paling disukai. Tapi ternyata hipotesis itu meleset. Memalukan.

Setelah dicoba-coba, pintu yang tepat adalah pintu yang paling familier. Jawaban apakah itu tepat atau tidak akan terlihat pada pintu yang mengunci dengan sendirinya. Kemungkinan tidak boleh lebih dari 1 orang di tiap pintu. Aku bisa berpikir begitu karena pria bongsor nan berat itu sempat berada di satu pintu yang sama dengan gadis kikuk yang selalu gagap itu. Mereka sempat mengobrol, menurutku waktunya lebih lama daripada yang dibutuhkan pintu untuk terkunci. Hasilnya, pintu baru terkunci ketika si gadis kikuk keluar.

Baiklah, saat ini di hadapanku segalanya bewarna biru laut. Dinding-dinding bergambar ikan paus. Lantai hitam menyerupai dalamnya lubang. Dalam lorong sempit ini, sepanjang jalan seluruhnya tengah menghinaku.

Biru pernah mencekikku. Hitam pernah menyeretku.

Menyedihkan, menyedihkan, menyedihkan, menyedihkan sekali. Apa-apaan?! Padahal baru 7 langkah, padahal baru 7 langkah, kenapa semuanya menyuruhku mundur? Bahkan kakiku sendiri gemetaran. Menyedihkan!

Kakiku begitu lemas, sampai tak kuasa menahan bobot tubuh nan kurus ini.

"AAAAAKH!"

Aku tersungkur. Ah, ini bukan lubang. Iya, ini bukan lubang. Seharusnya tak perlu khawatir. Biru laut ini bahkan menyentuh saja tak bisa. Benar, untuk bertahan aku harus kuat.

Ah, tapi ... aku sendiri. Tak ada siapa-siapa. Menyeret-nyeret tubuh saja cukup, 'kan? Selama itu bisa membawaku pada tujuanku.

Iya, merangkak pun akan kulakukan, untuk keluar dari tempat menjijikan ini. Meski napasku seakan ingin melepas diri. Meskipun rebas air mata memenuhi wajahku, aku pasti ... bisa keluar dari sini.

Menyedihkan.

Diam, aku sudah berusaha.

Menyedihkan. Menyedihkan. Menyedihkan.

Diam! Diam! Diam! Diam! Diam! Suara-suara iblis ini memangnya tau apa?! Seenaknya saja ... mengatakan kebenarannya.

Menyedihkan sekali, dasar tolol. Berjalan seperti bayi hanya karena sebuah gambar? Jika begini, sampai sekarang pun kau masih bisa dibunuh dengan cepat dan lancar.

"AAAAAKH, BERISIK! BERISIK! Celotehan seperti itu ... memangnya pernah hidup seperti ini?!"

Sekarang berteriak mengumumkan kelemahanmu? Bodohnya.

"Berisik ... berisik!"

Tak peduli sekeras apa aku menekan kedua telinga, suara itu terngiang-ngiang dalam kepalaku. Suara-suara dongkol itu ... selalu bertamu setiap kali kopi tak ada di genggamanku.

Seharusnya aku tidur ....

Seharusnya aku tidur ....

Seharusnya aku tidur ....

Semuanya ... semuanya terjadi karena ayah bajingan itu. Dengan entengnya semua orang meninggalkanku. Pengkhianat. Orang-orang berengsek. Mempercayai orang 100% itu terlalu bodoh. Aku yang dulu begitu bodoh karena mempercayai mereka.

Aku ingin tidur ..., tapi ... itu menakutkan. Hanya karena mengingat wajah manusia itu saja kepalaku sudah berdengung. Ini puluhan kali lebih menyakitkan jika aku tidur.

Aku tidak mau mengingatnya, tapi tak bisa melupakannya.

Aku ingin mati, tapi terlalu menakutkan.

***

Ayah memang tidak sempurna, namun aku menyukainya. Kakak, adikku pun selalu antusias menunggunya pulang. Setiap hari meskipun kami terkantuk-kantuk, kami selalu menunggu pintu terbuka yang disusul suara berat Ayah.

Keluarga yang begini pun sudah cukup. Aku menyukainya. Meski bukan kalangan atas, kebutuhan hidup kami selalu terpenuhi berkat Ayah. Mama pun lembut dan mampu menyokong keluarga dengan baik selama Ayah bekerja.

Kami adalah keluarga biasa yang bahagia. Terdengar klise sekali bukan? Tidak ada hal menarik untuk disorot selain kemampuanku yang menjadi kebanggaan mereka. Aku ini sejak kecil selalu disebut-sebut sebagai anak jenius.

Prestasi dan pujian berdatangan padaku setiap harinya tanpa kuminta. Semuanya begitu karena aku pernah mengikuti tes IQ yang diadakan sekolah saat TK. Hasilnya di atas rata-rata. IQ-ku katanya 136— hampir mencapai 140. Memang fantastis, tapi aku tidak disorot media karena orang-orang lebih tertarik jika IQ-ku mencapai lebih dari 160— yaitu angka perkiraan jumlah IQ Albert Einstein.

Jika dipikir lagi cukup masuk akal. Aku sudah suka membaca lebih awal dari anak-anak pada umumnya. Aku pun juga suka bermusik, katanya memainkan musik bisa meningkatkan IQ sekali pun itu hanya melodi sederhana.

Jika biasanya orangtua membandingkan anak kebanggaan mereka dengan anak yang kurang mereka sukai, berbeda dengan Ayah dan Mama. Mereka memperlakukan aku, Kakak, dan Adik secara setara sesuai porsinya.

Walaupun kakakky—Lia — bukan anak yang kalem dan baik-baik— sering membuat onar seperti menghajar anak-anak nakal sendirian— orangtuaku tetap membanggakannya yang ahli di bidang olahraga. Padahal wanita, tapi paling sembrono dan gegabah. Tentu saja sikapnya yang urakan itu tidak didiamkan begitu saja. Setidaknya dia bisa diandalkan.

Lalu adik laki-lakiku—Adit — itu paling kusuka. Umurnya masih 4 tahun tapi tata kramanya jauh di atas kakakku. Dia sering mengatakan sangat mengidolakan kedua kakaknya. Imut sekali bukan?

Lalu Ayah selalu bisa meluangkan waktu untuk kami. Mama lembut dan tegas. Aku nyaman di keluarga ini. Jika ada keributan pun pasti akan selalu membaik dengan sendirinya.

Lihat selengkapnya