Aku masih duduk di atas tempat tidurku. Mataku terus memandang kearah kipas yang menempel di dinding kamar. Pandanganku lumayan lama pada satu arah yang sama sementara punggungku bersandar pada dinding yang menempel dengan tempat tidur. Mataku sedikit sayup dan sesekali aku menggosok mata dengan tangan kanan. Suara putaran kipas jelas terdengar di telingaku. Detakan jam dinding di sudut ruangan lain juga terdengar samar ke dalam kamar menambah suasana hening dikamar.
“Bibo, bangun! Cepat sarapan dan pergi ke sekolah!” terdengar suara wanita paruh baya melengking keras dari dapur. Benar, itu suara mamaku. Bahkan suara lengkingan mama dapat terdengar sampai kedalam kamar yang membuatku mengalihkan pandang dari kipas kearah pintu yang masih terkunci. Mataku masih sayup dan nyepit. Mungkin ini panggilan untuk tidur lagi. Tidak, aku harus beranjak dari tempat tidur, berjalan keluar kamar dan menuju ke kamar mandi. Ini bukan pilihan, tapi keharusan.
Sebelum jauh lagi, perkenalkan, namaku Bibo. Bibo Chirstopher Walengka. Kamu benar. Aku laki-laki. Umur 17 tahun, Anak SMA kelas 12 alias tingkat akhir. Ciri-ciri harusnya lumayan bisa diperhitungkan, rambut hitam lurus, mata bening dengan sklera berwarna cokelat gelap, hidung standar pada umumnya, serta bibir yang tidak mau tersenyum dengan natural saat pagi hari.
Hampir setiap hari adalah hari yang sama untukku. Tidak banyak yang ku lakukan setiap akan tidur dan bangun tidur. Aku suka terdiam sambil memandangin kipas yang terpasang pada dinding kamar. Ritual lain yang dilakukan setiap kali selesai mandi pagi, aku berdiri didepan cermin yang cukup lebar di kamar mandi dan memandang diriku sendiri. Untuk apa? Untuk berbicara pada diri sendiri.
“Ini merepotkan” kataku dalam hati. Aku mulai menyentuh kedua ujung bibirku dengan tangan kiri. Jari-jariku menarik kedua ujung bibirnya saling berjauhan. “Pertahankan itu” ucapku lagi setelah melihat diriku tampak tersenyum.
“Lo udah siap?” Ucapku sambil menunjuk diri sendiri. Aku membiarkan bibirku tersenyum senatural mungkin dan meyakinkan. “Oke, lo udah siap” ucapku.
Aku terdiam beberapa saat. “Arggg....! Sulit banget sih!” Gerutku pelan. “Ah, udahlah. Lo udah siap!”
Setelah berargumen dengan diri sendiri, aku langsung siap-siap untuk sarapan dan pergi ke sekolah. Aku langsung duduk di bangku dan menarik piring yang berisi nasi goreng di atas meja yang sedikit jauh dari posisiku duduk. Aku mulai menyantap sarapan pagiku. Sarapan terbaik. Suara piring yang berbenturan dengan sendok terdengar sampai dapur. Mama sadar kalau anak laki-lakinya sudah ditempat makan. Mama menoleh kearah meja makan sambil mencuci barang-barang yang kotor setelah digunakan untuk memasak.