Sekolah menjadi tempat yang menyenangkan bagi sebagian besar orang. Termasuk kebanyakan anak-anak muda yang sedang menikmati masa SMA. Kata orang, masa paling indah adalah masa-masa SMA. Orang-orang muda mulai beralih dari zaman anak-anak yang dulunya masih main gundu dan lompat tali, sekarang ketahap pubertasi. Adanya ketertarikan antara lawan jenis menjadi hal yang lumrah di SMA. Saling berkirim pesan dan chat melalui smartphone mereka, atau sekedar duduk bersama di lorong sekolah, makan di kantin dengan banyak makanan yang dapat dicoba karena saling bertukar makanan, serta berbicara universitas impian saat menjadi siswa tingkat akhir. Menariknya, masih banyak lagi yang dapat dibayangkan dan diceritakan masa-masa SMA. Terlalu banyak.
Hanya, kurasa aku memiliki perasaan yang berbeda dengan kebanyak orang. Bisa jadi aku menikmati masa SMA, tapi dengan caraku sendiri. Pikirku, aku akan baik-baik saja. Lagi pula sudah bertahun-tahun aku menggunakan daily mask untuk menatap dunia ini. Aku tetap dapat bahagia selayaknya siswa SMA pada umumnya.
Aku melangkah masuk kedalam kelas. Aku meletakan tasa dibangku baris ke tiga dari depan. Tepat di tengah. Itu pilihan aman untuk tidak terlalu depan ataupun terlalu belakang. Aku mulai duduk sambil mengeluarkan buku sketsa, pena dan satu bungkus premen lollipop rasa melon susu. Semua ku letakan diatas meja. Aku mulai menggambar dengan pena tinta biru ditanganku. Kertas polos pada buku sketsa ukuran A4 itu mulai kotor dengan coretan-coretan yang tidak akan bisa dihapus seperti pensil.
Baru beberapa menit, terasa tangan menepuk bahuku cukup kuat yang menyebabkan gambar yang ku buat mendapatkan coretan tambahan diluar perkiraan.
“Oops! Sorry!” seorang laki-laki berbaju seragam duduk disebelahnya sambil meletakan tas ransel berwarna biru nevi diatas meja.
Aku menoleh kesebelah kanan sambil menatap laki-laki itu dengan muka yang datar.
“Apaan sih, lo.” Ucapku datar.
“Ah, gitu aja marah. Kan udah minta maaf.” Kata laki-laki itu enteng dan merasa tidak bersalah.
Aku merasa kesal. Namun, kurang dari 10 detik aku menjadi tidak perduli dan lanjut menggambar.
“Bikin apaan, sih?” Ucapnya sambil mengintip kearah mejaku.
“Udah, sana. Kerjain tuh PR lo. Pasti belum selesai.” Kataku menyindir sembari aku tetap sibuk menggambar.