LETTERS: Apakah Kamu Mencintaiku?

Yehezkiel Eko Prasetyo
Chapter #3

Surat dari Tukang Pos

Pukul 16.00, aku baru saja tiba di rumah. Hari ini menjadi hari yang panjang karena aku harus mengikuti kelas tambahan di awal tahun 2016 sebagai persiapan menghadapi ujian akhir kelulusan. Selain itu, hari ini menjadi hari yang menyakitkan dan menyenangkan untukku karena sepanjang hari di ruang kelas jantungku berdebar tidak karuan karena Alhika. Gadis itu membuatku benar-benar hampir kehilangan seluruh pikiran dan jiwaku. Apa lagi Kim terus menggangguku sehingga kami berdua hampir saja diusir dari kelas oleh guru bahasa Inggris yang super killer karena kami berdua membuat keributan di jam belajar.

Langkah kakiku belum sempat masuk kedalam rumah, terdengar suara seorang pria dari luar pagar berteriak, “Ada surat!”

 “Surat?”

Aku menghampiri tukang pos yang berdiri di luar pagar tersebut.

“Selamat sore. Saya mengantar surat untuk rumah Blok D 58 Sari Bumi. Benar ini alamatnya?”

Aku menerima surat itu dan membaca kop yang tertulis di sebuat amplop putih.

“Iya, pak. Benar disini.”

Pria itu tersenyum dan menyodorkan selembar kertas yang beralaskan papan kecil dan sebuah pena kepada Bibo. “Baiklah, kalau begitu tolong tanda tangan bukti serah terima.”

“Pak, tapi kenapa tidak ada nama pengirim dan ini ditunjukan kepada ‘Anak laki-laki’?” Nama penerima yang aneh. Aku bahkan membacanya sambil mengrenyitkan dahi.

“Tapi alamatnya benerkan?”

“Bener, pak. Tapi….” Sambil menyerahkan tanda bukti serah terima yang sudah aku tanda tangani.

“Berarti surat itu untuk disini. Baiklah, kalau begitu saya permisi.”

“terimakasih, pak.”

“Sama-sama.”

Dahiku kembali mengrenyit karena telah menerima surat yang mencurigakan. Ini seperti surat kaleng. Bahkan aku kawatir jika rumahku mendapat terror dari orang yang tidak dikenal. Lagi pula, di zaman kerang sangat jarang orang berkirim surat. Internet dengan mudah dapat menolong dalam berkirim pesan.

Aku masuk ke dalam rumah dan meletakan surat itu diatas meja ruang tamu lalu pergi ke kamar. Pikirku, surat itu mungkin untuk mama. Aku mengganti bajuku dan merebahkan tubuh yang letih keatas ranjang, tempat ternyaman yang ku miliki di rumah. Mataku memperhatikan langit-langit kamar beberapa waktu. Selanjutnya, aku mengganti pandanganku kearah kipas yang ada di dinding kamar. Kipas itu mati. Aku lupa menyalakannya.

Tak beberapa lama, mataku mulai terasa berat. Mataku mulai tertutup. Itu seperti perasan masuk kedalam keheningan yang mendalam. Semua menjadi gelap. Aku tertidur di sore hari.

“Hahaha…. Ayo kejar! Hahaha…. Cari aku!”

Lihat selengkapnya