Sore itu aku dan Kim pergi ke sebuah Coffee kecil di pinggir jalan sekitar sekolah. Tidak banyak yang dapat kami bahas kecuali persiapan ujian nasional dan rencana kami ikut acara Japan Education Expo di pertengah bulan maret.
“Bib, novelnya udah lo ambil dari Armaya? Gue mau baca nih.”
“Ini.” Bibo meletakan novel itu diatas meja, bersebelahan dengan dua minuman. Satu coffee latte dan satunya green tea latte.
Kim dengan semringah mengambil buku itu dan membuka tiap halaman dengan cepat. Dia sedang berusaha membaca dengan cara skimming untuk tahu isi ceritanya secara singkat. Tangannya begitu trampil membuka tiap lembaran. Sampai akhirnya diantara lembaran itu ia menemukan sebuah kertas yang terlipat tersimpan didalam novel itu. Kim mengambil kertas itu.
“Ini punyamu?” Tanyanya.
Ia penasaran dengan kertas itu. Kim meletakan buku yang ia pegang dan membuka lipatan kertas yang tampak masih baru namun sedikit kusut. Kim membaca surat itu. Laki-laki jangkung itu tidak percaya dengan apa yang telah ia baca. Matanya yang segaris terbuka lebar. Namun, disisi lain ia kagum dengan keberanian seorang pria yang menulis surat untuk sahabatnya ini. Pria yang bagiku selalu kusebut sebagai orang asing dan penjahat dalam hidup yang telah membuatku patah hati sedari kecil.
“Bib, surai ini….” tanyanya dengan lirih dan mencondongkan badannya ke arahku.
Aku hanya mengangguk dengan mukanya yang datar.
“Terus?”
Aku diam dan hanya mengelengkan kepala.
Kim menarik napas sedikit lebih panjang dan dalam. Ia memperhatikan sahabatnya ini dengan empati. Ia berusaha menyelami perasaan kawan kecilnya. Ia diam dalam kebingungan.