Sore itu diawal bulan Februari.
Ya, febrauri masih musim hujan. Jalanan tampak basah meski hujan sudah reda. Kilauan cahaya matahari sore terlihat berkilauan pada dedaunan yang basah. Biasan cahaya dari sisa-sia air diatas daun membuat solah-olah daun-daun itu sedang bersinar. Sesekali air hujan yang tertampung pada dedaunan itu juga menjatuhkan diri mereka disebabkan oleh hembusan angin sepoi-sepoi yang lembut dan sedikit dingin.
Beberapa tetes air itu jatuh diatas bahuku, lainya jatuh di kepala Alhika. Kami berdua baru saja selesai jam sekolah dan sedang jalan kaki menuju halte bus dekat sekolah. Kami berdua berencana menjengung Kim yang sakit.
Aku dan Alhika jalan berdua meski banyak siswa lainnya yang juga jalan menuju halte bus yang sama. Kami berdua jalan dengan santai sembari berbincang disepajang trotoar jalan. Sejak kursus singkat kami di perpustakaan waktu itu, kami mulai akrap dan dekat. Tidak ada rasa canggung lagi untukku. Aku dan kurasa Alhika juga mulai merasa nyaman.
Langkah kami yang lambat namun pasti telah membawa kami berdua sampai di halte bus. Aku mempersilahkan Alhika duduk terlebih dahulu dan disusul olehku duduk disebelah kanannya. Ditengah asiknya kami berbincang, aku tersadar bahwa ada seorang anak laki-laki kecil dengan seragam sekolah sedang duduk disebelahku sambil mengayun-ayunkan kakinya. Kepala anak itu menoleh ke kanan dan ke kiri. Dipangkuannya ada sebuah buku yang ia pegang dengan kedua tangannya.
Aku memperhatikan anak itu. Anak itu mengeluarkan handphone dari saku celananya. Handphone-nya tidak dapat menyala. Anak itu memperhatikan layar handphone yang mati.
“Ada apa, Bib?” Tanya Alhika.
“Oh, enggak Al.” Aku menoleh ke Alhika. “Aku mau berbicara dengan anak disebelahku ini.”
“Adik.” Panggilku.
Anak laki-laki itu menoleh kearahku.
“Kamu lagi nunggu jemputan? Mana orang tuamu?” Tanyaku lagi. Pikirku tidak mungkin anak kecil seorang diri duduk di halte bus untuk pergi tanpa pengawasan.
Anak itu hanya menggelengkan kepalanya sementara kakinya terus diayun-ayunkan.
Aku menganggukan kepalaku. Aku sedikit menarik napas dalam, “kamu lagi nunggu bus? Sendiri?” Tanyaku dengan pelan dan memasang ekspresi muka tidak yakin.
Anak laki-laki itu mengangguk.
“Rumah kamu dimana?” Tanyaku semakin dalam.
“Jalan Bogani nomor 52.” Jawab anak itu.
“Itu dua blok dari rumah Kim.” Ucapku kepada Alhika.
Ku pikir seharusnya anak yang tengah duduk disebelahku itu mempunyai jemputan sendiri. Lagi pula, anak itu tinggal di komplek elit. Kurang masuk akal anak sekecil ini harus pergi seorang diri. Kecuali orang tuanya ingin memandirikan anak ini, sejak dini. Aku kurang mengerti.
Alhika menepuk bahuku dan mencondongkan tubuhnya kearah anak laki-laki itu. “Mau kami antar?” Ucapnya memberi tawaran.
Aku tiba-tiba menoleh kearah Alhika. Alhika tersenyum lembut.
Anak laki-laki itu kembali menganggukan kepalanya dan berkata “Tapi naik bus.”
Senyum Alhika semakin panjang. “Iya, kita naik bus.”
Anak itu tersenyum lebar. Mukanya tampak girang dan kakinya semakin ia ayunkan dengan kencang dan semangat.
Hanya membutuhkan kurang dari 15 menit, bus yang kami tunggu telah datang. Sebagian orang turun dari bus dan sebagian lainnya naik ke bus. Alhika masuk terlebih dahulu dan membayar bus dengan kartu e-money di dalam dompetnya, disusul oleh anak laki-laki kecil itu dan aku. Ketika aku akan membayar busku dan mereka berdua, Alhika melarangku.
“Sudah ku bayar.” Ucapnya santai.
Aku terdiam sejenak. Ah, tidak adil rasanya sebagai seorang laki-laki mendapatkan bayaran cuma-cuma dari wanita yang disukai.
“Oh, Oke. Terimakasih. Aku berhutang satu es krim cokelat.” Balasku.
Alhika tersenyum, “Dua.”
Kubalas senyumnya, “Setuju.”
Kami duduk dibangku bus yang tersusun menyamping. Anak itu ada ditengah diantara kami berdua.
“Adik, siapa namamu?” Tanya Alhika.
“Nuel.” Jawabnya sambil mengamat-amati suasanan di dalam bus.
“Nama yang bagus.” Ucap Alhika. “Nuel umur berapa sekarang?”
“Sembilan tahun.” Jawabnya sementara matanya terus mengamati seluruh lingkungan yang ada di bus. Ia memperhatikan orang-orang yang duduk dan berdiri. Ia memperhatikan apa yang diobrolkan banyak orang didalam bus, ia memperhatikan bangku-bangku dan tiang pegangan, serta tali pegangan yang menggantung.
“Wow! Nuel kelas berapa sekarang?” Alhika terus bertanya seperti orang yang sedang mengintrogasi. Rasa ingin tahunnya tinggi.
Anak itu (Nuel) tidak menjawab pertanyaan Alhika. Tiba-tiba Nuel memutar badannya, menaikan kedua lututnya keatas bangku bus yang ia duduki dan menatap keluar kaca bus. Wajahnya yang kecil terkena cahaya matahari sore, tampak cerah. Nuel kecil memperhatikan kendaraan yang berjalan di sekitar bus. Matanya yang bening juga memperhatian gedung-gedung tinggi, papan-papan reklame dan hiruk pikuk orang menyebrang jalan. Sesekali Nuel tersenyum kegirangan dan mengoyang-goyakankan bahunya naik turun.
Ia menciptakan embun di permukaan kaca bus dengan meniup kaca itu dari mulutnya. Jarinya menuliskan namanya ‘nuel’. Ia membacanya kemudian kembali tersenyum lebar sambil kegirangan.
“Nuel sedang apa?” Tanyaku.