Butuh waktu satu jam untuk sampai ke toko roti karena mobil yang kutumpangi menurunkan kecepatannya saat melewati hujan lebat. Ketika aku tiba didepan toko, aku lekas membayar tanksi yang sudah ku sewa dan segera turun dengan mambawa kardus besar dipelukaanku sembari tangan kananku menggenggam payung.
Suara kelentingan lonceng yang ada didepan pintu kaca toko berbunyi, itu tanda ada orang yang masuk kedalam toko.
“Mas Bibo?” Sapa mbak Sukini melihat diriku masuk ke dalam toko dengan kardus besar di pelukanku dan sebuah payung yang basah ditangan kanan. “Sini, sini, mbak bantu.” Mbak Sukini sangat cekatan orangnya. Ia bergegas menerima kardus besar dariku.
“Makasih, mbak.” Ucapku sambil melipat payung dan meletakan di pojok dekat pintu masuk, tempat khusus payung pelanggan yang basah.
Aku melihat toko mama cukup ramai meski hari sedang hujan. Banyak orang yang berkeliling melihat-lihat roti, sebagian sibuk memilih dan mengantri dibagian pengemasan roti, dan lainnya antri di kasir untuk membayar roti yang mereka telah beli. Aku melihat Mbak Sukini sibuk mondar-mandir mengemasi roti-roti yang sedang dibeli pelanggan, wanita itu tampak kerepotan karena kotak-kotak rotinya sebagaian belum dilipat karena baru datang. Enci sibuk terima uang dari orang-orang yang sedang mengntri demi mendapatkan roti yang mereka telah pilih dan ambil. Sementara mama juga sibuk bolak-balik mengisi tempat-tempat roti yang mulai kosong karena banyaknya orang yang membeli.
Aku menjadi ragu untuk bertemu mama. Aku tidak ingin mengganggu kesibukan wanita paruh baya yang sedang merintis karir sebagai pengusaha roti. Hatiku kembali memilih untuk menyimpan semua perasaan ini dan membiarkan logikanku tetap jalan dengan berpikir bahwa semua akan selesai dengan sendirinya.
“Bibo!”
Aku kaget dan mencari sumber suara berasal. Itu suara mamaku memanggil.
“Ngapain kamu disitu bengong? Ayo sini, bantu mama dulu.”
Aku bergegas menghampiri mama dan menggunakan celemekku. Mereka berjalan ke ruang belakang mengambil roti-roti dan meletakan pada nampan untuk dibawa ke depan.
“Ini, susun roti-roti ini ditempatnya.”
Aku memperhatikan mamaku yang menggunakan celemek dibadanya, ia jelas sekali tampak sibuk. Mimik mukaku seperti orang yang bingung untuk memulai pembicaraan.
“Hei, kenapa masih bengong? Ayo, bawa roti ini kesana. Mama bawa nampan yang satu itu.”
Aku segera mengangkat nampan yang penuh dengan roti berbagai rasa ke depan. Hatiku semakin gundah saat meletakan roti-roti itu di rak-rak toko. Sesekali aku menoleh kearah mama dari jauh. semakin lama aku menahan perasaanku, maka semakin berat beban pikiran dan rasa gundahku, baik pada papaku, pada mamaku, bahkan pada diriku sendiri.
“Sudah, nak?!” Teriak mama dari rak roti yang sedikit jauh jaraknya dariku.
Aku hanya menoleh kearah wanita paruh baya itu.
“Ayo, masih ada tiga nampan lagi dibelakang.” Mama jalan lebih dahulu, disusul olehku dari belakang.
“Iya, ini. Kamu bawa yang ini, biar itu mama yang bawa. Oh, iya, iya. Masih bisa ditambahan lagi ini rotinya. Tunggu mama ambil sebentar.”