LETTERS: Apakah Kamu Mencintaiku?

Yehezkiel Eko Prasetyo
Chapter #12

Bibo dan Mama

Langkah kami telah membawa kami tiba tepat didepan toko roti yang kami tujuh. Aku berhenti dan menatap ke pintu kaca toko di halaman depan. Ada sebuah tulisan tergantung di toko itu, bacanya ‘CLOSE’ (tutup). Aku terdiam ditengan gerimis. Jangtungku memacu kencang tiba-tiba. Tubuhku juga mendadak gemetar lanataran kedinginan dan perasaan bersalah.

Perlahan aku melangkah mendekati toko. Tanganku mendorong pintu toko. Suara kelentingan lonceng yang ada didepan pintu kaca berbunyi. Serentak semua mata yang ada didalam toko mengarah kepadaku. Mama, mbak Sukini, dan Enci. Aku juga melihat Alhika dan Kim didalam toko.

Mereka semua tercengan melihatku dengan baju yang tampak lembab. Aku meletakan payungku di temparnya dan berdiri sedikit agak jauh dari pintu kaca yang telah tertutup secara otomatis. Ada Armaya di belakangku. Dia melipat payungnya yang basah.

 Perlahan mama mendekatiku. Matanya memerah dan napasnya tampak cepat. Raut wajah wanita itu tampak datar namun menyimpan banyak pertanyaan: Apa yang akan dilakukannya?

Aku hanya bisa terdiam sambil terus memandang mama yang semakin dekat denganku. Langkahnya berhenti tepat didepanku. Ia tiba-tiba mangangkat tanganya seperti memasang kuda-kuda untuk menampar pipiku kedua kalianya. Aku hanya menundukan kepala dan pasrah apa yang akan terjadi. Setidaknya aku siap menerima konsekuensi setiap kesalahan untuk kedua kalinya.

Tangan mama dengan lembut menyetuh pipiku yang terkena tamparan di ruang belakang. Ia mengusapnya dengan lembut. Tampa aba-aba sebuah pelukan hangat aku dapat dari mama. Mama menangis terisak-isak sambil memelukku kuat.

Aku masih terdiam sambil menundukan kepala. Perasaan hangat dan nyaman dari sebuah pelukan tiba-tiba ku rasakan dengan sendirinya. Aku seperti menemukan sedikit bagian dariku yang telah hilang sebelumnya. Perlahan aku membuka tanganku dan memeluk mama. semakin kuat perasaan cinta dari mama untukku, membuatku semakin erat memeluk mama. Kepalaku ku letakan di bahu wanita yang murah hati itu.

“Maafin mama.” Ujar wanita itu. “Maafin mama, nak. Maafin mama.”

“Enggak, ma. Bibo yang salah. Maafin Bibo.” Ucapku dengan penuh rasa penyesalan. “Maafin Bibo karena ngomong kasar ke mama. Terimakasih sudah mau merawat Bibo. Terimakasih.”

Mama semakin terisak mendengar penyesalanku. Ia memelukku dengan penuh cinta. Demikian juga denganku, meski wanita yang sedang memelukku bukan mama kandungku, namun aku telah merasakan kasih yang tidak jauh berbeda dengan mama kandungku, bahkan lebih dari itu. Ini seperti lebih dari cukup.

Lihat selengkapnya