Tepat pukul tujuh malam. Aku duduk bersandar di atas tempat tidur. Sebuah selimut tebal menutupi bagian tubuhku dari perut hingga kaki. Hidungku memerah, suhu tubuhku sedikit tinggi. Sesekali aku bersin. Kipas dikamarku dinyalakan dengan level paling rendah. Malam itu kamarku tidak sepi. Teman-teman mengantarku pulang untuk memastikan kondisiku baik-baik saja.
Kim duduk diujung kasur dengan baju yang sudah ia ganti. (Baju Kim ada beberapa di rumahku karena ia suka menginap di rumah), sementara Alhika duduk dibangku belajar. Armaya mayusul masuk ke kamarku dan duduk di bangku yang diambil dari ruangan lain. Armaya baru mengganti bajunya yang juga lembab dengan baju mama semasa muda. Tidak buruk saat dipakai oleh cewek Jepang itu.
“Kamu udah baikan? Ini minum dulu.” Kata Alhika sembari memberikan teh hangat kepadaku.
Aku minum sedikit dan memberikan lagi ke Alhika. “Makasih. Ini udah baikan.”
“Aku rasa kamu harus banyak istirahat sekarang. Kondisi tubuh kamu tidak cukup baik.” Ucap Armaya terasa formal karena ia perlu banyak belajar bahasa Indonesia meski sudah lama ada di negara garis katulistiwa.
TOKKK….!
Sebuah jitakan melayang di kepalaku. “Aduh!” Seruku. “Apaan sih lo?!”
“Makanya, jadi orang jangan kebanyakan nonton senetron. Pake ujan-ujanan kayak film-film India coba. Tahu gak, nyokap lo sampe telpon gue berkali-kali. Dia pikir lo pergi ke rumah gue. Ya kan gue tahunya lo lagi pergi sama Al. Makanya gue telpon si Al. Ehhh….” Kim kaget kerena keceplosan.
Alhika menaikan alisnya, jidatnya tampak mengkerut. “Tunggu, aku baru ngeh. Kamu kok tahu kalok aku sama Bibo ada janjian?”
“Eh, enggak. Maksudnya yakan pas kamu sama Armaya di dapur bareng tante, aku sama Bibo ngobrol soal ini. hehehe…” Kim mencari alasan agar tidak ketahuan bahwa rencana kencanku yang gagal bersama Alhika disutradarai olehnya.
“Kamu ngomong ngaco deh. Kan aku didapur bentar doang, Kim. Dari mana kamu tahu? Ayo Bilang!” Rasa penasaran Alhika seperti biasa muncul dalam banyak kesempatan dan peluang.
“Aish, apaan sih! Gue perban juga tuh mulut, ya, Kim!” Sautku.
“Lah, kenapa gue?” Tanya Kim.
“Masih tanya kenapa lagi?”
“Udah-udah. Kayak anak kecil aja sih kalian.” Alhika nyeletuk mengomel kepada kami berdua. “Nanti kita bicara ya, Kim.” Sambil mengacungkan kepalan tangan. Gadis itu tampak berbeda saat marah. Tapi aku tetap menyukainya.
Sementara itu Armaya hanya tertawa kecil melihat hal tersebut.
“Tadi Kim telpon kamu?” Tanyaku kepada Alhika.
“Oh, iya. Kim telpon aku. Aku tadi kan lagi di mall nungguin orang ditempat makan, terus orang itu enggak dateng-dateng. Udah terlanjur mesen bangku kan. Yaudah, aku makan aja sendiri kayak orang bego. Ya, anggep aja bego gitu deh.” Sewot Alhika menyindir Bibo.
“Hehehe, ia sorry. Enggak ada maksud buat ingkarin janji. Lain waktu kita makan bereng lagi. Hehehe.” Rayuku kepada Alhika.
Ditengah asiknya berbincang bersama, Armaya menyakan pertanyaan yang keluar dari topik pembicaraan malam itu. “Bibo, where’re your dad?”
Aku menoleh kearah Armaya. Wajah Kim tampak kaget mendengar pertanyaan itu. Kim hanya bercerita singkat ke Alhika lewat telpon apa yang terjadi pada ku siang tadi. Sementara Armaya tidak tau apapun soal ini. Wajahku tampak tenang. Aku menarik napas dalam, kemudian tersenyum tipis. Aku mulai menceritakan kehidupan masa kecilku.
“Karena ada pertanyaan dari Armaya, kurasa ini kurasa waktu yang tepat aku harus cerita ke kalian dan enggak salah kalau aku harus berbagi, terutama untuk kalian, Alhika sama Armaya.”
Semua tampak menyimak apa yang akan ku ceitakan. Ini seperti dongeng, dan teman-temanku seperti anak-anak yang tidak sabar mendengarkannya.
“Aku lahir dan besar sampe usia empat tahun di Surabaya. Aku tinggal di rumah yang besar disana. Ada halaman belakang yang biasa aku pakai main sama adik perempuanku. Ya, aku tinggal bareng papa, mama, dan adik perempuanku yang waktu itu berusia tiga tahun tahun. Namanya Kilia. Biasanya aku panggil dia Kili. Aku inget banget, kita berdua suka main petak umpet. Dia suka jaga dan aku yang ngumpet. Kalau giliran dia yang ngumpet, aku biasanya enggak mau nyariin dia. Terus dia suka keluar dengan sendirinya dari tempat persembunyiannya yang jujur aku enggak pernah tahu dia sembunyi dimana. Bahkan sampe sekarang. Dia keluar sambil ngomel-ngomel mirip mamaku dulu. Terus dia nangis karena aku curangin dia. Hehehe. Meski usiannya baru tiga tahun, dia sangat fasih berbicara.”
Kim, Alhika, dan Armaya tersenyum mendengar itu. Mereka terus menyimak apa yang ku ceritakan.
“Mamaku selalu dirumah. Dia wanita yang super duper baik, buatku, buat Kili, enggak terkecuali buat papa juga. Menurutku dia bukan wanita yang neko-neko. Ya, itu yang ku inget. Senyumnya ituloh, ramah banget. Aku inget banget. Pas lagi marah juga, dia tetep jadi mama yang kerenlah. Enggak bisa aku lupain masa-masa itu. Meski Cuma sedikit ingatanku soal mama dan Kili karena aku masih terlalu kecil untuk mengingat banyak hal, tapi aku tetap bisa merasakan suasana waktu itu.”