Hari sudah malam, aku baru saja menyelesakan makan malamku bersama mama. Aku membantunya membereskan meja makan dan mencuci pring kotor kami. Mama ada disebelahku tengah menggosok barang-barang itu dan aku bertugas membilasnya.
“Ma, ada surat tuh dari papa. Mama gak mau baca?” Sambil terus membilas piring-piring yang sudah dicuci dengan sabun.
“Enggak ah. Itu bukan buat mama.” Ia masih saja tetap sibuk dengan cuciannya.
“Kenapa? Kalau mama mau baca, baca aja.”
Mama menoleh kearahku sebenar dan kembali mencuci lagi.
“Tumben nawarin?”
“Ya, enggak apa-apa. Lagian sapa tahu mama juga mau baca.”
“Itu surat bukan buat mama. Itu buat kamu. Jadi kamu yang harus membacanya. Lagi pula, ini urusan antara anak dan bapaknya. Bukan kakak dan adiknya (Antara papa Bibo dan mama angkat bibo). Udah ah, sana beresin piring-piring itu terus belajar.”
“Hm, baiklah.” Aku mengangkat piring-piring yang sudah bersih, mengeringkannya dan menyusunya kedalam lemari. “Ma, aku udah apply ke Jepang.”
Mama menoleh kearahku. Ia melangkah mendekatiku.
“Beneran? Udah keterima?”
“Belum, baru apply. Tinggal masukin nilai raport dan beberapa berkas lain lewat email. Nanti kalau lolos mereka kabari, terus nanti ada sesi wawancara juga lewat video call.”
“Wih keren anak mama. Kamu harus semangat, ya!”
Aku agak bingung. Menatapnya sebentar dan mulai berbicara, “Emang mama gak sedih kalau Bibo keterima dan pergi ke Jepang?”
Ia tampak menarik napas lebih dalam, “Ya sedih sih ditinggal sendirian. Tapi mama mau kamu jadi orang sukses, punya mimpi, punya semangat. Bisa bangkit dari masa lalu. Dengan begitu mama akan jauh lebih bangga dan bahagia kalau lihat kamu bahagia.”