Sejak malam itu aku memutuskan untuk pergi ke Surabaya bersama Armaya. Aku tidak mau memilih pesawat karena aku pikir akan lebih cepat tiba disana, sementara hatiku belum benar-benar siap bertemu dengan pria paruh baya itu. Menaiki kereta membuatku punya waktu lebih lama untuk memikirkan apa yang perlu kulakukan dan katakan kepadanya nanti waktu kami bertemu.
Sepanjang perjalan kami terus berbicara satu sama lain. Armaya terus bertanya dan berbicara seolah energi dalam tubuhnya tidak akan pernah habis. Wajahnya memerah saat cahaya matahari masuk menembus kaca kereta dan mengenai parasnya.
“Armaya.” Panggilku.
“Ya?” Jawabnya.
“Thank you.”
“Hm?” Dia bingung.
Aku melihat kearahnya dengan memberikan senyum tipisnya. Armaya membalas senyumku.
“It’s okay. I’ll be there.” Ucapnya.
Aku menarik napas agak panjang.
“Are you worried?” Tanyanya.
“Little bit.” Jawabku. “Kamu tahu? Aku mendapatkan empat kali kiriman surat darinya.”
“Sungguh?”
Aku mengangguk. “Entah apa yang dia kejar dariku. Awalnya aku sangat marah saat mendapatkan surat darinya. Bahkan itu membuatku bertengkar hebat untuk pertama kalinya dengan mama. Kamu tahu hal ini. Tapi, lambat laun aku mulai belajar untuk membuka hatiku. Penerimaan seharusnya membuatku merasa lebih baik dari pada terus menyangkali kehadirannya seumur hidup.”