Kami tiba di Surabaya. Kota masa kecilku, kota yang penuh dengan kenangan. Suka dukaku, dan masa laluku. Untuk petama kaliannya juga, ini menjadi awal pertemuan dari waktu yang panjang.
Aku dan Armaya sudah ada didalam kantor penjara diamana papaku, pria itu tinggal saat ini. Aku dan Armaya duduk di tempat tamu berkunjung. Aku harus menunggu beberapa lama sampai orang yang kucari masuk dan duduk didepanku secara langsung. Kami duduk berseberangan dengannya, sebuah meja besar menjadi penghalang antaraku dangan pria itu.
Ini pertama kalinya aku melihatnya secara langsung. Perawakannya tinggi dengan badan yang besar. Dia menghampiriku menggunakan stelan seragam tahanan. Wajahnya sedikit berbrewok, tampak tidak terurus. Kulitnya tidak seputih kulitku, agak kusam, aromanya tercium pria paruh baya sangat khas. Aku terus memperhatikannya, caranya berjalan, berdiri, duduk, bagaimana dia memandang dengan matanya yang kecoklatan dan sedikit sayu. Napasnya terdengar sampai ketelingaku. Dia duduk dengan kaku. Pria itu benar-benar mirip denganku.
Kami hanya saling diam, kaku dan kikuk. Aku tidak tahu apakah ini ikatan batin antara bapak dan anak, tapi saat aku mencondongkan tubuhku sedikit kearahnya dan akan memulai kata pertamaku padanya, diapun juga melakukan hal yang sama. Sontak kami menjadi terdiam kembali. Kami sangat kikuk dan seolah-olah tidak ada sesuatu yang baru saja terjadi. Aku menatap kesekeliling dengan canggung dan mempersilahkan pria itu berbicara terlebih dahulu.
“Hai.” Sapanya ragu.
Aku menoleh kearahnya sambil menganggukan kepalaku pelan.
“Apa…. Kabar, Bibo.” Ucapnya.
Dia menyebut namaku! Dalam hatiku berkata. Ini lama sekali dan untuk sekian waktu aku mendengan namaku disebut olehnya. Aku menatap matanya. Dia juga terus menantapku. Aku perlahan membuka mulutku. Perlahan juga aku mulai berbicara padanya.
“A….pa kamu baik-baik saja disini?”
Pria itu mengangkat kedua alisnya. Matanya menjadi lebih lebar dari sebelumnya yang tampak sayu senyap.
“Aku? Ya…. Ya, aku baik-baik saja disini.” Sambil tersenyum aneh.
Aku menggung pelan. “Kamu sudah lebih baik?”
Pria itu mencondongkan badanya kearahku karena binggung dengan perkataanku. “Ma… maksudnya? Oh, hehehe. Ya, aku sudah lebih baik sekarang.”
“Apa kamu sudah lupa dengan semua hal yang kamu lakukan dulu?”
Senyum pria itu mulai meudar perlahan.
“Apa kamu suka dengan semua ini?”
Dia tampak mulai kehilangan raut wajahnya yang semeringah.
“Kamu tahu? Kamu telah membiarkanku seorang diri selama ini?”
“Bibo?” Ucap Armaya pelan sambil menyetuh bahuku. Armaya tampak bingung dengan hal ini.
“Kamu tahu bahwa selama ini aku hidup dengan diriku sendiri? Aku bicara semua yang ada dalam pikiranku dengan diriku sendiri? Aku tidak tahu bagaimana cara mengungkapkan semua yang ada didalam isi kepala dan hatiku kepada orang lain. Kamu tahu bertahun-tahun aku merasa kesepian meski sekelilingku ramai?”
Napas pria paruh baya itu memberat.
“Aku sangat marah ketika mendapatkan surat pertama darimu. Aku bahkan tidak mau memikirkan apapun tentangmu dalam hidupku. Bahkan karena surat itu aku harus bertengkar dengan mama. Tapi hampir setiap bulan surat-surat itu datang kerumah. Aku mulai menerima semua apa yang kamu tulis. Aku mencoba menerimanya dengan lapang dada dan membiarkan masa lalu mati begitu saja dalam hidupku. Kamu tahu kenapa? Aku terlalu lelah. Aku butuh istirahat dengan semua hal yang mengecewakan.”