Tidak ada yang benar-benar berkabung Rabu itu. Pasalnya, tidak ada yang tahu kalau Bung Erwin sudah berpulang sejak dini hari. Yang tahu hanya Bu Septri, Bang Suman, dan Gema.
Bu Septri tahu lebih dulu. Beliau adalah kepala komunitas yang mengawasi penghuni apartemen. Usianya 41, seingat Gema. Bisa saja lebih. Atau malah kurang. Sebagian besar penghuni apartemen sepakat kalau Bu Septri ‘masih terlihat muda’.
Sudah lebih dari sekali Bu Septri menelepon ambulans dan mengurus administrasi Bung Erwin di rumah sakit. Terlebih sejak awal tahun ini. Dana santunan dari penghuni apartemen ketika Bung Erwin mulai sakit, diurus oleh Bu Septri. Bung Erwin kabarnya juga punya asuransi dan tabungan, jadi semua tampak lancar-lancar saja.
Dua hari lalu, Bu Septri kembali mengemban tugasnya dan mengantar Bung Erwin ke rumah sakit. Dini hari tadi, Bung Erwin berpulang. Pihak rumah sakit langsung menghubungi Bu Septri.
Mirip pesan berantai, kabar duka dari Bu Septri disampaikan langsung ke Bang Suman, juru kunci sekaligus tukang serba bisa yang berkarya di beberapa lantai apartemen ini. Bang Suman kerap diundang main catur oleh Bung Erwin. Sering pula makan malam bersama, karena Bung Erwin tinggal sendiri dan keduanya sering berbincang banyak hal berhubung usia tidak terpaut jauh.
Bang Suman turun tangan membereskan barang-barang Bung Erwin. Sembari berbenah, Bung Suman menempatkan beberapa barang yang dianggap tidak berharga di luar pintu kamar untuk dibuang atau diloakkan. Dari situ, Gema tahu kabar bahwa Bung Erwin sudah berpulang. Meskipun awalnya ia kira Bang Suman membantu Bung Erwin pindah rumah.
Sebagian besar hanya sampah dan barang yang tak berharga, tapi ada yang menyita mata Gema: sepucuk surat di atas sebuah kardus yang elok. Amplopnya rapi bukan main, tapi hanya ada tanggal dan nomor yang tertera. Tidak ada alamat tujuan maupun nama. Gema refleks membuka kardus di bawahnya. Semua berisi surat-surat, sebagian diikat rapi jadi satu dengan tali tipis, sebagian dibiarkan menyendiri.