Gema tidak membuka surat-surat itu. Ia hanya meletakkan kardusnya di ujung kamar dekat meja makan, lalu melanjutkan harinya. Belanja, kembali ke rumah, memasak, makan siang, lalu lanjut bekerja. Gema duduk di depan laptopnya dan mulai mengetik.
Gema bekerja sebagai seorang juru ketik daring dan beberapa pekerjaan daring yang bisa dikerjakan dari rumah. Setelah pengalaman kerja terakhir di sebuah perusahaan, Gema memilih untuk mencari pekerjaan yang memberikannya lebih banyak waktu luang. Pekerjaan yang lebih sesuai dengannya karena ia sendiri belum yakin karier apa yang patut ia kejar.
Biasanya Gema bekerja dari pagi sampai sore, seperti orang kebanyakan. Kalau ia sedang ingin santai, maka ia mulai bekerja dari siang. Mulai selepas makan siang, berhenti sekitar jam lima sore, dan akan lanjut lagi beberapa jam malam hari nanti. Sisa sorenya akan dihabiskan di bar tak jauh dari apartemen, tempat ia dan teman-temannya biasa berkumpul.
Hari ini ia tidak ingin bekerja. Sepulang dari menghadiri pemakaman Bung Erwin yang sepi, Gema tidak ingin memikirkan pekerjaan. Awalnya ia berharap bisa bertemu keluarga Bung Erwin dan bisa menyerahkan surat-surat Bung Erwin, tapi tak satupun pihak keluarga muncul. Bu Septri mengaku ia tidak memegang kontak keluarga Bung Erwin karena Bung Erwin sendiri mengaku dirinya tidak punya.
Alhasil, pemakaman sore tadi dihadiri tak lebih dari sepuluh orang. Semua tetangga Bung Erwin. Di antara yang datang, tampak yang paling terpukul adalah Bang Suman. Gema semakin yakin keputusannya sangat tepat untuk mengundang Bung Suman makan malam besok atau lusa. Malam ini biar Bang Suman berduka dengan caranya sendiri.
Kembali ke apartemen, Gema mandi dan berganti pakaian. Earphone di telinga, ponsel di saku jaket dan dompet di saku celana, Gema sudah siap untuk sesi kumpul sore. Sesaat sebelum berangkat ia mendaratkan pandangan ke kardus tadi siang dan sepucuk surat yang berada di atasnya.