Letters of a Liar

Yoga Arif Rahmansyah
Chapter #4

Membohongi Diri Sendiri Itu Hanya Istilah yang Enak Didengar

Sederhananya, Gema berdiri di persimpangan. Ia punya bayangan arah yang ia tuju, tapi kelemahan konsep ‘banyak jalan menuju Roma’ bagi orang seperti Gema adalah ada banyak jalan dan perihal memilih, Gema agak plin-plan. Gema belum bisa memutuskan jalan mana yang mesti dia ambil, kadang kala justru ragu apakah ia benar-benar ingin ke Roma.

Lambat laun, pemuda yang terlalu senang membaca mulai terbawa alunan untuk menunda-nunda. Setahun belakangan, Gema termakan oleh rasa aman yang ia dapat di persimpangan. Ia tidak membaca buku sebanyak yang biasanya, tidak pula meningkatkan frekuensi sesi bercanda sore bersama teman-temannya. Jatuh cinta pun, Gema seadanya.

Andai saja Gema mendapati surat-surat Bung Erwin di saat dirinya lebih mantap, lebih tegas dalam hidupnya, mungkin Gema tidak akan ambil pusing dan mengabaikan riwayat surat-surat itu di tangan Bang Suman. Destinasi: loak. Atau bungkus gorengan.

Menjadi seseorang yang berdiri di persimpangan dan tidak mau mengambil langkah membuat Gema doyan mencari pertanda. Doyan mencari pengalihan. Apapun yang bisa membuatnya tetap berada di persimpangan, santai menimbang-nimbang langkah penuh harapan. Surat-surat pribadi milik tetangga yang baru saja berpulang? Jelas sebuah pengalihan, kalau bukan pertanda.

Surat pertama yang Gema baca tadi bisa jadi betul-betul surat terakhir yang Bung Erwin tulis sebelum akhirnya berpulang. Isinya tidak begitu menarik perhatian. Gema mengembalikan surat itu ke posisi semula lalu berangkat menghadiri sesi bercanda sore.

Tapi sepulang bercanda ria, Gema membaca surat pendek itu tiga kali sampai ia sadar ada sesuatu yang seharusnya ia sadari dari awal. Potongan kalimat kebohonganku untuk surat kali ini memicu rasa ingin tahu Gema: apa ini berarti di surat-surat lainnya ada kebohongan-kebohongan lain?

*

Gema membongkar kardus surat Bung Erwin. Paling tidak ada seratus surat, Gema belum sempat menghitung semuanya. Surat-surat tersebut ada yang diikat dengan jumlah yang berbeda, dan Gema tidak mau gegabah membuka ikatan surat-surat itu lalu kemudian lupa surat mana yang diikat bersama.

Terbersit di kepalanya untuk membuka satu ikatan, memeriksa tanggalnya, lalu mengikat surat-surat itu lagi sebelum membuka ikatan yang lain. Ia mengetuk-ngetuk meja dengan jarinya. Gema menoleh ke jam di dinding. Pukul setengah dua pagi. Perutnya mengirimkan somasi karena sesi bercanda tadi sore tidak mengikutsertakan makan malam yang memadai.

Gema berada di persimpangan dan sulit mengambil keputusan. Tujuh menit menjelang jam dua, Gema sudah meletakkan surat-surat itu kembali ke kotak, menyantap mie instan di depan meja kerja sambil menonton serial televisi di laptopnya. Pukul setengah tiga, kepala Gema bersua dengan bantal lalu lelap dalam hitungan menit.

Pikirnya, masih ada besok pagi. Belum terpikir olehnya perihal etika membuka surat-surat tersebut. Yang terpikir justru surat-surat, deadline pekerjaan, sesi bercanda sore nanti, dan skenario-skenario indah tak masuk akal yang dibintangi dirinya dan Bonita.

*

Sesi bercanda yang terjadi hampir setiap sore hingga malam adalah waktu berkumpul Gema dan tiga kawannya semasa kuliah: Banyu, Darryl, dan Rere. Perbincangan mereka melanglang buana ke berbagai hal: dari yang dungu sampai yang cerdas, yang personal maupun privat, kadang tak masuk di akal. Sore itu, Gema bercerita tentang surat-surat yang ia temukan.

“Surat?” Rere bingung, rambut ikalnya diikat ke atas yang berarti ia baru saja melewati hari yang cukup menjengkelkan. “Itu privasi, ‘kan?”

“Yang punya dimakamkan kemarin siang,” jawab Gema. “Lalu, kalau aku tidak intervensi, mungkin surat-surat itu sudah dibuang atau dijual ke tukang loak.”

Lihat selengkapnya