Letters of a Liar

Yoga Arif Rahmansyah
Chapter #7

Artikulasi

Tidak sedikit dari masyarakat Bumi Majapraha yang melarikan diri ke Alun Senja setiap langit berubah jingga campur ungu. Tapi yang tidak dapat melarikan diri ke sana pun tidak sedikit. Ashani, salah satunya.

Semenjak firma tempatnya bekerja melakukan pengurangan pegawai di awal tahun, Ashani semakin jarang menghabiskan sore harinya ke tempat macam Alun Senja. Biasanya ia dan tetangganya, Teana, berkunjung ke sana minimal seminggu sekali, menonton film atau konser musik dan pulang larut. Paling tidak sebulan sekali makan enak di restoran Serumpun.

Kini, Ashani lebih banyak menghabiskan waktu di rumah atau di kafe. Itu pun kalau tidak mabuk kerja di rumah. Semua selalu berujung pada pekerjaan.

Dua bulan semenjak diberhentikan, Ashani sudah coba bergabung dengan firma baru, tapi semua serba sementara dan tidak terlihat punya arah yang jelas. Bulan ketiga, Ashani mencoba peruntungan untuk jadi independen. Ada kepuasan tersendiri ketika bisa memilih pekerjaan yang diinginkan, meskipun ada pula perkara keuangan yang tidak bisa dianggap remeh.

Sebermula menonton konser seminggu sekali hingga kini mesti berhemat karena harus mengambil beberapa pekerjaan pro bono, Ashani merasa cukup puas meskipun ada kalanya merindukan sedikit kemudahan. Ia sudah menghubungi beberapa rekannya untuk membuka praktik bersama, tapi sampai saat ini rekan-rekannya masih rela bekerja di bawah firma ketimbang memulai sesuatu yang baru.

Teana selalu bilang untuk lakukan semuanya sesukamu. Kalau kawannya yang notabene seorang ibu satu anak tanpa suami yang hidup dari berjualan kue kering sudah bilang demikian, semangat Ashani meluap dan siap menghajar semua kasus yang datang ke arahnya.

Bisa dibilang, Teana menjadi sumber inspirasi semenjak Ashani menjadi pengacara Teana yang menggugat cerai suaminya tahun lalu. Teana sering kali jadi suara penentu ketika Ashani ragu untuk mengambil keputusan. Tukang kue pragmatis yang menyamakan life decision dengan adonan kue.

“Serius, ‘sha. Kalau sudah dewasa, bisa baca resep ‘kan. Hidup itu ya ada resepnya. Bahagia ada resepnya. Tergantung mau bikin kue apa. Bikin kue coklat ya pakai coklat. Mau kuenya enak ya ikuti resep. Kue masuk oven ya ditunggu, jangan buru-buru.”

Bulan lalu, Ashani menyanggupi permintaan seorang klien atas saran dari Teana. Sebenarnya Ashani pun sudah akan mengambil pekerjaan yang satu itu, karena bayarannya luar biasa lumayan. Meskipun kliennya agak aneh.

“Orang aneh juga butuh pengacara, ‘kan?” gumam Teana. “Aneh pun ada tingkatannya, ada banyak jenisnya. Seberapa aneh, sih? Lagipula, aneh dan kaya itu bukan kombinasi yang buruk.”

Ashani setuju. Kliennya ini pun bukan kepribadiannya yang aneh. Permintaannya saja yang agak sedikit...eksentrik. Perkara surat wasiat.

Sebulan berlalu, perkara surat wasiat dikesampingkan dulu oleh Ashani. Boleh jadi ia juga lupa. Ashani kini duduk di sofa hijau ruang tengahnya. Wajahnya lebih semrawut dari blazer yang ia kenakan sejak pagi. Sudah beberapa jam Ashani tenggelam di kolam dokumen-dokumen kasus yang ia tangani. Ada beberapa pekerjaan yang ia ambil sekaligus, dan semua orang mau semuanya serba cepat.

Ashani tidak protes. Bukan pula mengeluh. Hanya saja, memang tidak jarang ia diam-diam ingin tenggelam. Jauh ke dalam dan tak perlu timbul lagi ke permukaan.

Sayangnya dunia tidak begitu baik hati mengabulkan doa yang diam-diam seperti itu. Ashani ditarik ke permukaan. Sebuah pesan menyusup ke ponselnya, mengabari kalau sang klien eksentrik telah berpulang. Ashani segera menghubungi wali yang memberikan kabar tersebut. Ada sedikit komplikasi dengan surat wasiat si pria tua yang satu itu.

Surat wasiat yang ditinggalkan si pria tua tidak bisa dieksekusi tanpa adanya kumpulan surat-surat yang ia tulis. Terakhir Ashani datang bertemu dengan kliennya itu, ia melihat si klien memiliki satu kotak berisi banyak surat. Lebih dari 100, mungkin. Empat dari ratusan surat itu, disebutkan dalam akta waris. Bisa dibilang bagian krusial. Namun saat ini Ashani belum terima surat apapun.

Sang wali mengangkat telepon. Suaranya formal, jauh lebih formal dari semua pengacara yang Ashani pernah temui. Lembut, santai, tapi formal. Ashani bertanya perkara surat milik sang klien. Sang wali, perempuan muda bernama Septri, menjawab dengan kebingungan.

“Surat? Surat apa?”

*

Surat #3, 14 Oktober 1977

Kebohongan paling parah dan paling sering kulakukan selama lebih dari 2 tahun belakangan ini kulakukan pada pada diri sendiri. Aku, dan dua tahun penuh penyangkalan bahwa sejujurnya aku sangat, amat sangat merindukan Denia.

Lihat selengkapnya