Letters of a Liar

Yoga Arif Rahmansyah
Chapter #8

Keputusan Tepat

Bonita wisuda hari ini dan perasaan Gema bercampur aduk.

Gema masih ingat wisudanya sendiri tahun lalu. Rasanya seperti portal ke dimensi lain yang serupa tapi tak sama. Perayaan atas perjuangan selama kuliah tapi hanya bertahan beberapa hari. Baginya, Euforia wisuda hanya sebentar saja. Sehari, malah.

Wisudanya waktu itu seperti wisuda pada umumnya. Berlangsung seru bercampur haru. Gema dan teman-teman tidak sengaja saling mengenal, ditempatkan berdekatan, bersinggungan di satu jurusan. Sekumpulan manusia yang sebenarnya berbeda tapi bisa menemukan kesamaan. Keluarga datang meramaikan, teman-teman lama bermunculan. Bonita juga hadir di sana, malu-malu.

Gaudeamus Igitur berkumandang. Dada membusung dengan bangga dan semangat. Vivat academia, ujar paduan suara yang diiringi orkestra waktu itu. Merdu bukan kepalang. Tapi yang terlintas di benak Gema justru lirik vita nostra brevis est brevis finiteur. Seisi ruangan ikut menyanyikan lagu itu, tapi rasanya hanya Gema yang terpaku pada perasaan janggal.

Pagi setelah wisuda, toga sudah terlipat dan masuk dalam lemari. Foto dengan rektor dibuang, karena buat apa? Gema kenal pria itu dan hasil kerja berlumur politik kampus dan korupsi. Kalau bukan karena tradisi, tak sudi Gema bersalaman dengannya. Karangan-karangan bunga, termasuk yang diberikan oleh Bontia. mengingatkan Gema pada kata-kata vita nostra brevis lagi. Brevis finiteur.

Siangnya, Gema sudah harus lanjut bekerja. Euforia sudah menguap diganti kenyataan. Beberapa rekan memburu gelar selanjutnya, yang lain sigap memburu pekerjaan di perusahaan-perusahaan ternama, tak sedikit juga yang banting setir mau berkarya, mengurus usaha orang tua, atau sekadar cari pekerjaan seadanya yang penting bisa menyambung hidup.

Ucapan selamat membanjiri ponsel dan Gema jawab satu persatu. Beberapa hari kemudian, rasanya seperti tidak pernah wisuda. Sama saja. Sudah lupa karena ada banyak hal lagi yang mesti dilakukan dan tidak semuanya dipersiapkan semasa kuliah. Wisuda sebegitu saja. Mungkin karena ia melihat wisuda dari sisi mahasiswa. Dari segi orang tua, bangganya tentu berbeda. Leganya juga berbeda.

Perasaan kontra dengan ritual wisuda yang sebenarnya hanya pura-pura ini bercampur dengan perasaan gembira. Ini yang ia nanti. Kalau boleh jujur, Gema lebih menantikan wisuda Bonita dibanding ketika ia dulu menantikan wisudanya. Portal yang dilalui Bonita akan mengantarkannya pada realita baru, bersama Gema.

Memang, keduanya masih muda. Tapi Gema beranggapan Bonita yang akhirnya menjadi sarjana hukum bisa fokus untuk merencanakan masa depan mereka berdua, seperti yang waktu itu Bonita bilang sendiri. Ia tidak sabar untuk segera memulai hidupnya selepas kuliah.

Ketika Gema mendengar lagi lagu Gaudeamus Igitur itu, entah mengapa suaranya jauh lebih merdu. Orkestra, paduan suara, semua lebih merdu. Lebih khidmat. Lebih manis.

Di benak Gema, kali ini terngiang sepotong lirik yang lebih pendek dari sebelumnya: vita nostra.

*

Wisuda ini adalah hari istimewa untuk Bonita dan teman-teman serta keluarganya. Bonita tampil menawan, sederhana dengan toga namun wajahnya berseri dan bahkan lebih segar dari karangan bunga yang ia terima. Gelar sarjana sudah di tangan sementara lengan kanan menggaet Gema yang membawakan barang-barang Bonita beserta sebuah kamera.

Gema ada di sana seperti halnya Bonita hadir di wisudanya tahun lalu. Betah di pinggir, memberikan ruang untuk teman-teman Bonita, dan lebih banyak berada di belakang kamera. Gema sendiri tidak protes. Meski tidak ada yang tahu, keseharian Gema kerap diisi dengan memandangi foto Bonita di layar ponselnya. Memotret Bonita saat wisuda seperti ini justru menyenangkan baginya.

Saat parade manusia yang hendak berfoto dengan Bonita agak menipis, Gema menyempatkan diri menyapa dan bercengkrama dengan ibunda Bonita yang datang bersama sang adik. Bonita sudah memberikan lampu hijau pada Gema untuk melakukan ini, karena Bonita sendiri sudah bercerita pada ibunya tentang Gema. Meskipun tentunya tidak semua detail diceritakan.

Jingga dan ungu mengambil alih warna biru di langit. Kerumunan mulai menipis. Bonita mendekati Gema yang berdiri sendirian.

“Hai,” ujar Bonita, tersenyum meledek.

“Hai.” sahut Gema, ikut tersenyum.

Bonita menarik lengan Gema ke suatu sudut yang strategis. Jingga dan ungu di langit itu menjadi latar belakang. Adik Bonita mengambil kamera dari tangan Gema. Agak membelakangi cahaya, tapi bukan masalah yang tak bisa diselesaikan oleh kamera profesional.

Sesaat Gema melihat ke bawah, jingga tumpah ke rerumputan tempatnya dan Bonita berpijak. Di atas tumpahan cahaya matahari itu, terdapat bayangan Gema yang bersanding dengan bayangan Bonita. Saat tubuh Bonita mendekat ke tubuhnya, bayangan di rerumputan itu bersatu. Melekat dengan serasi.

Lihat selengkapnya