Letters of a Liar

Yoga Arif Rahmansyah
Chapter #9

Enam Notifikasi

Erlita <erlita@workmail.co>     08:42 (20 jam yang lalu)

Dear Gema,

Tidak biasanya kamu terlambat mengirimkan pekerjaan. Saya dan tim sudah coba menghubungi kamu sejak semalam. Semoga kamu baik-baik saja.

Tolong kabari apabila ada halangan sesuai prosedur yang ada. Saya sudah bicara dengan atasan dan karena kinerja kamu sejauh ini sangat baik, dari pihak kami bisa memberikan dispensasi. Deadline kami perpanjang hingga 48 jam setelah email ini dikirim.

Sekali lagi, tolong kabari apabila ada halangan. Kamu tahu juga nomor kerja dan nomor pribadi saya, jadi saya tunggu kabarnya.

Salam,

Erlita.

*

Suatu senja yang tidak biasa di Cul-de-sac Alun Senja. Rere sampai di bar lebih dulu. Rambut ikalnya diikat ke atas sejak makan siang. Biasanya Banyu yang sampai duluan, baru Darryl, tapi sampai sekarang dua batang hidung yang tidak terlalu mancung itu belum sampai.

Rere duduk di tempat biasa ia duduk. Ponsel di atas meja, lalu mata sesekali menatap keluar jendela. Tidak ada notifikasi. Dua belas menit menuju pukul lima. Di luar jendela hanya ada lalu-lalang orang yang tak ia kenal. Tidak ada tanda-tanda Banyu ataupun Darryl. Apalagi Gema.

Dua hari ini Gema tidak muncul. Hal itu biasa kalau memang ia sedang bertikai dengan beberapa deadline pekerjaannya yang kadang sering menumpuk jadi satu. Tapi sesibuk apapun, Gema selalu memberi kabar. Paling tidak ke Rere. Atau ke Banyu.

Rere membuka percakapannya di ponsel dengan Gema dan penampakannya masih sama dengan semalam: beberapa panggilan tak terjawab, pesan singkat yang diperlakukan macam koran dan pesan suara yang tidak dibalas, entah sudah didengarkan atau belum.

Cul-de-sac makin ramai. Minuman yang biasa dipesan Rere tiba, tapi tak disentuh olehnya. Pikirannya masih terbang ke Gema, dengan keinginan yang semakin bertambah untuk mampir dan melihat keadaan temannya yang satu itu. Rere membuka media sosialnya, menggunakan akun sampingan untuk melihat aktivitas terakhir Bonita.

Ada.

Di antara banyak foto wisuda Bonita beberapa hari lalu, didapati Rere sebuah foto Bonita bersama Gema. Senyum lebar. Di belakang mereka, langit ungu bercampur dengan jingga. Tidak ada yang mencurigakan. Apa yang terjadi?

Ketika Rere sedang asik, Banyu tiba-tiba sudah menyelinap masuk dan duduk di bangkunya.

“Tumben, Re,” gumam Banyu, yang memberikan gestur ke arah bar untuk mengantarkan pesanannya seperti biasa.

“Gema udah kasih kabar?”

Wajah Banyu tampak santai, tidak sepanik yang Rere harapkan. “Belum. Tapi ya sudahlah, jangan terlalu dipikirkan. Pasti baik-baik saja. Mungkin ada urusan atau ada masalah.”

“Justru itu makanya aku khawatir.”

Banyu melepas jaket parkanya dan menggantungnya di kursi. “Buat apa? Gema sudah besar. Kalau ada masalah yang kita perlu tahu, nanti dia cerita sendiri.”

“Dia balas pesan kamu?”

Banyu mengangkat bahu.

*

Lihat selengkapnya