Persimpangan ini semakin nyaman bagi Gema. Terlalu nyaman, malah, belakangan ini. Mungkin karena semua berjalan mulus-mulus saja. Di persimpangan, Gema tidak ada alasan untuk bergerak. Teman-temannya selalu ada di ujung sana, di meja dekat jendela bar Cul-de-sac Alun Senja. Pekerjaannya sejauh ini lancar-lancar saja, cukup untuk hidup dan menabung, bahkan sesekali foya-foya.
Bonita? Justru Gema di persimpangan ini menunggu Bonita. Ia menunggu Bonita bergabung dengannya di persimpangan, biar mereka berdua bisa menentukan jalan mana yang akan mereka ambil. Berdua. Tidak semua orang punya kesempatan macam itu; Gema tahu betul banyak orang punya tanggung jawab yang mencegah mereka untuk mengambil jalan yang mereka mau. Tidak bagi Gema.
Sesampainya Bonita di persimpangan, rupanya dia sudah ada rencana sendiri.
Saat Bonita duduk di tepi tempat tidur, membelai rambut Gema sambil menjelaskan bahwa dirinya tidak bisa lama-lama di persimpangan itu, yang ada di kepala Gema justru surat-surat dari Bung Erwin.
Tidak masuk akal, mungkin, tapi di momen itu Gema yang merasa Bonita adalah Denia-nya, adalah perempuan yang akan membekas dalam-dalam di dirinya. Seorang yang sejak awal tidak jujur sejak awal.
Jelas tawaran untuk kembali ke Tanjung Pendar, kota asalnya, dan bekerja di perusahaan ibunya, tentu bukan sesuatu yang baru saja diketahui oleh Bonita. Gema yakin akan hal itu. Gema kenal Bonita dengan baik. Gema kenal Bonita yang teratur, yang serba pikir panjang, yang selalu mengambil keputusan tepat. Ia tidak akan mengambil keputusan kalau belum sepenuhnya yakin.
Bonita sudah memikirkan semua itu matang-matang. Sendiri. Mungkin malah jauh sebelum ia bersama Gema. Mungkin sebelum Gema sendiri sampai di persimpangan dan menunggunya. Kembali ke Tanjung Pendar dan bekerja di sana pasti selalu jadi opsi.
Seberapapun Bumi Majapraha merayunya dan memintanya untuk tinggal, Tanjung Pendar tetap kampung halamannya. Ada daya tarik dan kedekatan tersendir. Sementara itu, Gema hanya sebuah variabel yang tidak cukup untuk membuat Bonita tinggal. Cinta bukan argumen yang kuat di hadapan logika milik Bonita. Tentu saja ia memilih Tanjung Pendar sebagai tempatnya berkarya.
Setidaknya demikian yang menggema di kepala Gema.
Jam menunjukkan pukul dua lewat lima belas atau pukul tiga lewat sepuluh, tapi tampak diam tak bergerak. Waktu berhenti. Gema berdiri dari tempat tidur dan berjalan ke tengah ruangan. Diperhatikannya lagi jam itu. Dua lewat lima belas.
Gema mengulurkan tangannya. Bonita menyambut. Kini mereka berdua berpelukan di tengah ruangan. Gema mengecup kening Bonita sungguh-sungguh.
Dalam hati, Gema berharap kalau waktu beranjak dari pukul dua lewat lima belas, biarkanlah waktu kembali berputar kembali saat jam menyentuh pukul tiga lewat sepuluh. Ia belum mau beranjak dari tempat tidur, dari kamar ini, dari pelukan Bonita. Ia masih nyaman berdiri di persimpangan.
Tapi waktu ada di luar kendali Gema. Ia bisa diam saja di situ, Bonita di pelukannya, tapi waktu akan terus bergerak. Gema mengecup pundak Bonita yang berbaring membelakanginya.
“Bonny…”
“Hmm?”
“Apa kamu sering berbohong?”
*
Gema duduk terdiam menatap pintu kamar yang menelan Bonita. Bonita kembali ke apartemennya, pergi merencanakan petualangan baru. Entah kapan dia akan berangkat ke Tanjung Pendar, ia belum bilang. Gema duduk lebih dari setengah jam menatap pintu. Ponselnya diletakkan di meja, laptop ditutup. Ketika sunyi seperti ini, jarum jam berdetak dengan congkak.
Usai menerima kenyataan bahwa Bonita tidak mungkin muncul lagi dari pintu itu paling tidak sampai malam nanti, atau malah esok hari, Gema membongkar kotak berisi surat-surat Bung Erwin.
Mungkin ada jawaban di dalam surat-surat ini. Atau setidaknya aku bisa lari ke dalam surat-surat ini.
Gema meraih buku dan pena, siap menghabiskan hari itu membaca satu persatu surat-surat tulisan Bung Erwin dan menuliskan hal-hal yang menurutnya penting. Hal-hal yang menurutnya patut digarisbawahi. Patut dijadikan pelajaran. Apapun yang bisa membantunya.
*