Letters of a Liar

Yoga Arif Rahmansyah
Chapter #11

Kunjungan

Rere mengetuk pintu kamar Gema karena sudah hampir seminggu Gema tidak membalas pesan sama sekali. Tidak ada respon apapun. Darryl tidak bisa ikut berkunjung sementara Banyu merasa kalau Gema akan muncul kalau memang dia sudah ingin muncul. Rere, sesuai dengan pesan suara yang ia kirimkan pada Gema, memang sudah berniat untuk berkunjung langsung kalau Gema tak kunjung merespon.

Di tangan kanannya, bungkusan berisi makan siang untuk Gema. Mana tau Gema belum makan, entah dari kapan. Rere kira ia bakal harus menunggu di ambang pintu selama beberapa jam, mendobrak pintu kamar Gema, atau malah diusir. Namun, setelah mengetuk pintu tiga kali, pintu dibuka. Gema mempersilakan Rere masuk tanpa perlawanan.

Rere mempelajari fisik Gema. Tidak ada yang berubah selain rambutnya yang agak berantakan, janggut yang belum dicukur dan kantung mata yang membuatnya terlihat seperti panda. Rere pernah melihat penampakan seperti ini. Ini Gema semasa bertikai dengan skripsi. Atau Gema yang sedang baku hantam dengan lima deadline pekerjaan sekaligus. Tidak ada tanda-tanda keanehan yang berlebih.

Sampai Rere melihat tumpukan surat yang tersebar di ruangan kerja Gema. Penuh mengisi meja kerja, di atas meja makan dan berserakan di karpet. Belum lagi kardus berisi surat-surat yang ada di atas kursi kerja Gema. 

Whoa...ini…?”

“Surat-surat yang waktu itu.”

Gema, hanya memakai kaos dan celana pendek, bersimpuh di atas karpet, siap lanjut membaca surat yang tampaknya tengah ia baca ketika Rere datang mengetuk pintu.

“Aku bawa makan siang buat kamu.”

“Wah, terima kasih,” Gema tersenyum, seperti ingat kalau dia butuh makan. Ia menoleh ke arah meja makan yang penuh surat, “Taruh di dapur aja, Re.”

Rere menyanggupi. Gema lanjut membaca surat, Rere memilih duduk di kursi makan, mengamati Gema. Sudah berapa banyak surat yang ia baca? Apa seminggu ini dia hanya membaca surat?

Ketika Gema selesai dengan surat di tangannya, Rere baru bertanya. “Jadi...kamu kenapa?”

*

“Iya, aku sering berbohong, kok. Tidak pernah ke kamu, tapi ya, berbohong secara umum, sering. Semua orang berbohong, ‘kan? Aku yakin kamu juga,” jawab Bonita, matanya masih tertutup. “Kenapa memangnya?”

Gema ingin bertanya apakah Bonita menyayanginya, tapi jawabannya sudah jelas. Bonita tidak mungkin ada di pelukannya sekarang kalau tidak sayang. Tapi mau tak mau, ia harus mengatakan apa yang mengganjal di hatinya. Atau lebih tepatnya, duri yang menusuk-nusuk. Keputusan tepat...sampai keputusan tepat berikutnya.

“Apa janji yang tidak ditepati itu berarti berbohong?”

Bonita tangkas, langsung paham maksudnya. Bagaimanapun, dia juga bagian dari kisah percintaan ini dan cintanya tidak berarti sekadarnya meski ia tampak dingin. Meski ia yang membuat keputusan. Bagaimanapun, dia juga cinta. Artikulasinya saja yang berbeda.

“Tergantung intensinya. Ada yang berjanji hanya sekadar berjanji. Ada yang berjanji bukan cuma pada orang lain tapi juga pada diri sendiri. Janji yang sangat ingin ditepati, tapi situasinya sudah berganti. Ada yang seperti itu,” Bonita terdengar menggumam, tapi matanya sudah terbuka. “Ada yang begitu cinta sampai bisa-bisanya jadi congkak, membuat janji yang begitu indah.”

“Lalu situasinya berganti.” sahut Gema.

“Lalu situasinya berganti.”

Lalu keduanya diam. Diam dalam gelap. Gema paham betul. Di kepalanya, semua masuk akal. Situasinya berganti dan keputusan harus diambil dengan akal yang sehat karena sakit adalah urusan hati.

Peluknya semakin erat. Pelan, Gema berbisik, “Mungkin aku bisa jadi keputusan tepat yang kau ambil lain waktu.”

Malam itu lebih panjang dari biasanya dan mereka berbincang lagi sampai pagi, mengulur-ulur waktu bersama. Gema bercerita tentang surat-surat Bung Erwin. Tentang kebohongan. Tentang Ekspektasi. Malam itu, mereka bicara tentang cinta. Sampai siang menjelang dan cinta diambil alih oleh kenyataan.

*

“Kamu putus?!” Rere terkejut. Dengan lihai ia menyembunyikan perasaan senangnya.

Gema mengangguk. “Habis dia wisuda.”

Rere diam sejenak, lalu memutuskan dia ingin tahu. “Kenapa?”

Gema menghela nafas. Jelas belum sepenuhnya merelakan. “Pulang ke Tanjung Pendar. Ibunya punya perusahaan di sana. Ia diminta kerja di sana. Disiapkan untuk ambil alih, mungkin..”

“Dia ga’ nolak?”

Lihat selengkapnya