Letters of a Liar

Yoga Arif Rahmansyah
Chapter #12

Erwin

Berdasarkan tanggal kelahiran dan tanggal surat pertama, Erwin J. Laulu pertama kali bertemu dengan Denia saat usianya masih 22 tahun. Maret, 1975. Kalau bukan karena Denia, Erwin tidak akan menulis surat bahkan sampai ia akhirnya berpulang.

Surat pertama jelas menunjukkan bahwa Erwin melakukan ritual menulis surat kebohongan karena rasa yang ia miliki pada Denia. Ia merasa menulis surat berisi kebohongan adalah ide yang tolol, tapi setolol apapun tetap ia ladeni demi Denia. Tipikal cinta yang tak pikir panjang, baru dan polos.

Surat kedua ditulis ketika Denia pergi. Cerita mereka kandas, tapi setelahnya Erwin terus menulis. Ia meneruskan ritual menulis surat kebohongan meski sporadis. Sebermula sebuah keterpaksaan, Erwin mulai merasa menulis memiliki efek katarsis.

Erwin membangun tatanan kehidupannya. Satu-dua perempuan masuk ke dalam hidupnya. Pekerjaan menyita waktunya. Ia pikir hidup baik-baik saja sampai Denia kembali lima tahun setelah ia pergi.

Di titik itu, Erwin menyadari bahwa selama ini ia sudah membohongi dirinya sendiri. Tatanan hidupnya semenjak Denia pergi bukan hanya sebuah improvisasi, tapi juga merupakan upaya sekadarnya untuk merasa bahagia.

Cinta bukan prioritas sampai datang orang yang tepat.

Erwin menikahi Denia. Ia juga memberikan semua surat kebohongan yang pernah ia tulis pada sang istri. Sebuah pernyataan bahwa selama mereka terpisah, tidak ada yang bisa menggantikan Denia.

 

*

“Lalu?” dahi Rere mengernyit. “Itu sih cerita cinta macam di kartun. Apa-apaan? Itu surat keberapa?”

“Itu surat ke-29. 2 Oktober 1982.”

“Surat ke-30?”

Gema meraih sepucuk surat yang ada di dekat laptop dan membacakannya kepada Rere. Surat ke-30. “November 1984.”

*

Surat #30, 6 November 1984

Aku tidak pernah berbohong pada Denia. Surat-surat kebohonganku kuberikan semua padanya, yang berarti aku sudah sepenuhnya jujur. Setelah menikah pun, aku tak pernah berbohong padanya. Bahkan kebohongan kecil pun tidak. 

Tapi hari ini aku harus berbohong. Mungkin kebohongan paling perih yang pernah aku lakukan. Kalau dipikir-pikir, mungkin ini kebohongan pertamaku yang justru membuat aku yang sakit sendiri.

Bonita berselingkuh. Aku baru tahu tadi sore. Tampaknya sudah berjalan cukup lama. Ia tidak tahu aku pulang lebih awal. Seharusnya aku pulang besok. 

Dari jenda, aku bisa lihat pria itu, entah siapa, masih telanjang di ruang tengah. Denia di sampingnya. Aku memencet bel dan pura-pura bodoh. Aku bisa dengar mereka panik di dalam.

Saat kutulis surat ini, Denia sudah terlelap di tempat tidur. Mungkin kutinggalkan saja surat ini di meja dan biar dia membacanya? Dengan begitu, mungkin Denia mau berkata jujur.

*

Whoa.”

Gema mengangguk takzim.

“Lima tahun menunggu, menikah baru dua tahun...lalu dia selingkuh?”

Gema tidak memberikan reaksi apapun. Ia malah meraih beberapa surat yang ditumpuk jadi satu di atas laptop. Sekumpulan surat yang tanggalnya berdekatan. Surat ke-31 sampai ke-41. Ia memberikan setumpuk surat itu pada Rere, lalu memilih rebahan di atas karpet sementara Rere membaca surat-surat itu satu-persatu. Gema meletakkan lengan kirinya melintang di atas dua matanya, memaksa rehat.

*

Surat #41, 27 Juni 1986

Sejujurnya, melihat ke belakang, aku yakin aku dan Denia bisa bersama lebih lama. Aku bisa saja langsung bicara pada Denia ketika pertama kali tahu ia bersama pria lain. Seharusnya aku juga tidak dengan bodoh membalas Denia dengan berselingkuh ketika ada urusan bisnis. Seharusnya aku tidak lari ke sana, tidak lari dari masalah.

Perceraian sudah final. Denia bilang ini yang terbaik, tapi aku sendiri merasa ada banyak hal yang bisa dilakukan untuk bisa mencegah ini semua. Kami seharusnya bisa lebih jujur. Untuk apa semua surat ini kalau bukan untuk memastikan kami berdua tetap jujur?

Ia tidak memberikan surat-surat kebohongannya padaku. Aku juga tidak memberikannya suratku setelah surat ke-30 waktu itu. Tampaknya kami membohongi satu sama lain dengan lihai, tapi merasa jujur bisa lebih menyakitkan. Baguslah. Aku tidak mau tahu siapa nama pria itu.

Zaikal masih kecewa denganku yang menggunakan uang perusahaan untuk perjalanan bisnis, menginap dan berselingkuh demi membalas Denia. Tapi mungkin kalau ia dengar aku akhirnya bercerai, ia akan senang? Entahlah. Kadang, meskipun Zaikal agak kurang ajar, dialah yang paling jujur denganku. Dia tidak pernah tidak mengatakan apa yang ada di kepalanya.

Lihat selengkapnya