Letters of a Liar

Yoga Arif Rahmansyah
Chapter #13

Cul-de-sac

Kembalinya Gema ke Cul-de-Sac disambut meriah meski hanya lima menit. Banyu mentraktir Gema minuman dan Darryl membayar makanan. Darryl spesifik mengomentari kalau Gema terlihat lapar, cara lembut khas Darryl untuk mengomentari tubuh. Ia bersikeras Gema terlihat lebih kurus dari biasanya. Rere lebih banyak tersenyum dan tertawa, tidak banyak berkomentar. Hanya sesekali menatap Gema.

Banyu dan Darryl mesti pulang lebih awal, malam itu. Biasanya, kalau sudah dua orang pulang, tongkrongan mereka yang cuma berempat bakal ikut bubar. Tapi Gema belum ingin pulang, berdalih dia sudah terlalu lama di rumah. Rere memutuskan untuk tinggal dan menemani Gema supaya ‘Gema tidak tiba-tiba hilang lagi’. Banyu dan Darryl pamit.

“Kamu tidak apa-apa?” tanya Gema, keduanya tahu ia mengacu apakah Rere keberatan menemaninya. Padahal, keduanya juga sama-sama tahu kalau Rere tidak pernah keberatan menghabiskan waktu berdua dengan Gema.

“Biasanya juga pulang lebih malam dari ini. Santai saja.” Kasual.

“Lalu, bagaimana surat-surat itu?”

“Aku sudah selesai baca.”

“Semuanya?”

Gema menenggak minumannya, lalu mengangguk. “Semuanya. Kamu minum lagi? Aku yang bayar.”

“Eh, tidak usah…” Rere berusaha menolak, tapi Gema sudah memberikan gestur yang dengan sigap ditangkap oleh bartender. Satu favorit Rere, satu untuk Gema.

“Minumanku tadi ‘kan dibayar Banyu. Makan ditanggung Darryl. Dari tadi aku belum bayar apa-apa,” Gema tersenyum. “Ini ucapan terima kasih untuk makanan yang kamu bawakan.”

Rere balas tersenyum, “Lalu, bagaimana kelanjutan hidup si Erwin itu?” Rere membawa topik kembali ke surat-surat itu karena sejujurnya dia juga agak tertarik. Entah kenapa.

“Nah, ada yang menarik,” Gema agak mencondongkan badannya ke depan, seperti hendak menceritakan dongeng rahasia dan tidak ingin kursi dan meja sebelah untuk curi dengar. “Sampai mana kemarin?”

*

“Sebentar, jadi akhirnya mereka cerai?” Bonita agak terkejut. Agak. Di kepalanya semua itu masuk akal, namanya menikah, mungkin saja bercerai. Ayah dan ibunya sendiri demikian. “Sayang, ya…”

“Iya, jadi Denia selingkuh dan Erwin pun begitu. Di suratnya, sih, mereka bercerai baik-baik…” Gema meletakkan ponselnya di atas meja. Ia menoleh ke arah jam. Ia masih punya waktu dua jam sebelum berkumpul untuk sesi bercanda perdana setelah seminggu absen.

“Kukira mereka bakal lanjut terus,” gumam Bonita, agak lirih. Subtil. Sebuah tusukan tidak kentara yang mengacu pada hubungan Gema dan Bonita.

“Ya...kadang memang keputusan harus diambil,” balas Gema.

Bonita berusaha agar nafas yang ia hela tidak terdengar di ujung sana. Lalu, lewat trik yang sarat penyangkalan, ia kembalikan pembicaraan ke topik semula dengan mengambil nada yang lebih ringan, renyah, dan riang: “Lalu, lalu? Bagaimana selanjutnya?”

Gema dengan tangkas mengambil nada itu sebagai nada berceritanya. Penyangkalan yang resiprokal. “Ya aku baca semua suratnya. Tahu tidak, yang paling mencengangkan apa?”

“Dia balik lagi dengan Denia?”

“Bukan,” sahut Gema cepat. “Surat ke-113 ditulis tepat tanggal 28 Agustus 2018. Tanggal segitu, kamu ingat tidak kita di mana?”

Bonita diam sejenak, mencoba mengingat. “Itu...kamu belum wisuda, ‘kan? Aku...aku sedang magang, kalau tidak salah.”

“Iya! Di kafé dekat apartemenku, ‘kan?”

“Ahh, iya!”

“Nah, kamu ingat ceritamu soal pria tua yang membelikan kue untuk anak perempuan kecil?”

“Kue...OH! OH! Iya, aku ingat! Jangan bilang itu…”

“Iya! Itu yang menulis surat! Itu Bung Erwin!”

“Sumpah?”

“Serius! Surat ke-113 isinya tentang kejadian itu, persis. Sama.”

Bonita terperangah. “Wah..kebetulan sekali ya, tidak disangka…”

“Seperti takdir, ‘kan?”

“Iya. Aku baru sekarang teringat lagi pada pria tua itu. Wajahnya hampir lupa, tapi aku ingat. Kacamata, selalu bawa buku untuk dibaca. Dia lumayan sering makan siang di kafé dan duduk membaca sambil minum kopi sampai sore, bahkan agak malam.”

“Betul. Rasanya seperti membaca cerita fiksi yang ternyata non-fiksi.”

“Tokohnya benar ada dan kita pernah bertemu…”

“Tapi, surat ke-113 itu meloncat jauh sekali. Bagaimana dengan surat-surat sebelumnya?”

*

“Oh, dia menikah lagi?” Rere agak terkejut. “Bukannya dia cerai dari Denia lewat usia 30?”

“Iya. Dia bertemu lagi dengan perempuan lain, namanya Cynara. Tahun 1989. Empat tahun kemudian, ia menikah dengan Cynara itu, 1993.”

“Kali ini, tahan lama?”

Gema mengangguk. “Empat belas tahun dia tidak menulis surat satupun. Surat terakhir ditulis 1993 itu, lalu surat berikutnya baru muncul tahun 2007. Mereka bercerai.”

“Cerai lagi?”

Gema mengangguk, “Setelahnya surat-surat itu kebanyakan berisi filosofi, mulai panjang dan tak keruan macam esei. Kadang soal cinta dan pernikahan juga.”

“Kalau dia bercerai 2007, dia usianya sekitar...54 tahun ‘kan?”

Lihat selengkapnya